Nomor 23 Akhirnya Bangun

150 146 2
                                    

Terakhir kali air mata ini keluar saat ia berumur 14 tahun. Masa itu, adalah kehancuran pertama yang mengguncang fisik dan batinnya sebagai lelaki. Awalnya tangis ini terlihat menjijikkan, namun rupanya karena tangis ini Rama justru merasa bisa mencurahkan perasaan yang sebenarnya tanpa berkata-kata.

Ketika berumur 14 tahun, Rama menangis karena mamanya meninggalkan rumah seraya membawa koper, dan ayahnya tidak berbuat apa-apa untuk mencegah istrinya pergi. Rama memohon agar sang mama tidak meninggalkan rumah, setidaknya jika tak ada alasan menetap lagi, pikirkanlah Rama yang butuh seorang ibu di usianya yang beranjak dewasa. Namun, tangis itu hanyalah angin di mata wanita berumur 40 tahun tersebut. Terbukti walaupun Rama menangis sembari memegang kakinya, wanita itu tetap pergi.

Semenjak itulah, Rama memilih diam. Ketika keadaan duka ia akan bungkam. Air mata nampak tak berguna untuk dikeluarkan, itu tidak akan merubah apapun, keadaan duka tetap menjadi duka. Masalah yang telah hancur akan tetap hancur.

Namun, untuk sekarang, entah mengapa Rama rasanya ingin menangis. Hatinya sesak oleh berbagai macam hal di kehidupannya yang berjalan seperti ini. Sejak awal, Rama menyusun hidupnya agar tetap sempurna tanpa celah, sehingga tak akan ada air mata yang hadir. Rama tidak ingin membangun kesedihan di kehidupannya. Tapi, ketika Lanita hadir, perasaannya bisa berbicara. Ketika Rama ingin marah, benci, tertawa, cemburu, bahkan egois Rama tuangkan semua itu pada Lanita.

Koridor ruang UGD nampak sepi. Hanya Rama yang duduk di sebuah bangku sembari menundukkan kepala. Lelaki itu terus menunggu hasil dari dokter tentang keadaan Lanita. Tak sedikitpun Rama pergi, berpindah, bahkan berhenti berdoa.

Syahdan, Sandi, dan Tora datang. Mereka memang juga ikut mengantarkan Lanita ke rumah sakit. Ketiganya baru saja menyelesaikan keperluan Rama di ring dan Lanita di sini. Ketiganya memang bisa diandalkan dalam berbagai hal.

Tora menyodorkan paperbag. "Ganti baju dulu, Ram."

Tak ada respon.

"Seenggaknya lo obatin dulu muka lo," usul Syahdan.

Lagi-lagi Rama tidak melakukan apapun untuk menjawab semua omongan mereka. Ia terlalu fokus memikirkan Lanita, sampai yang lain dianggap bukan apa-apa.

Sandi duduk di sebelah Rama. "Sorry, gue nggak bisa bantuin lo habisin Zack. Tapi, soal Lanita ... gue yakin dia bakalan baik-baik aja."

Disusul Tora dan Syahdan, keempatnya pun duduk berjejer. Menunggu di depan UGD. Berdoa terus menerus untuk keselamatan Lanita. Pasalnya tendangan Zack beberapa saat yang lalu bukanlah tendangan biasa dalam seni bela diri. Itu bisa dibilang sebagai tendangan penuh atau maut. Jarang ada olahragawan yang menggunakan tendangan ini karena bisa membahayakan lawan. Untuk itu, bagi Sandi yang mendapatkan kabar ini, Zack benar-benar telah keterlaluan.

Sayangnya walaupun Zack telah berbuat buruk karena hampir mencelakai Rama, namun korbannya justru Lanita, tidak bisa dihukum oleh negara. Sebab, dari panitia yang menyelenggarakan pertarungan itu, memanggil polisi sama saja mencari mati. Karena apapun yang menyangkut ruang bawah tanah, artinya ilegal. Bukan hanya di penjara, tapi juga ganti rugi. Mau korban atau tersangka, semuanya sama.

Pintu UGD akhirnya terbuka. Ranjang rumah sakit yang di atasnya ada Lanita yang telah diobati lantas keluar, didorong oleh dua suster. Lanita masih tidak sadarkan diri. Tangannya di infus. Lehernya diberi penyangga.

Rama langsung mengikuti kemana Lanita di bawa, disusul Syahdan. Sedangkan Tora dan Sandi yang berkonsultasi pada dokter tentang Lanita.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang