Nomor 27 Menyingkirkan Teman

126 136 0
                                    

Ruang kepala sekolah Sandi datangi ketika jam pembelajaran masih berlangsung di kelasnya. Tiba-tiba saja guru mata pelajaran memanggilnya, kemudian berbisik bahwa ia dipanggil Gunawan untuk ke ruang kepala sekolah. Sandi pun menurut, tanpa perlu memberitahukan ini ke sahabatnya terlebih dahulu.

Sesampainya di ruangan dengan berbagai macam pigura foto yang besar terpampang di dinding dan lukisan bergaya eropa yang kelihatan mahal, Sandi berjalan mendekati meja kebesaran Gunawan.

Kursi putar bergerak menghadap depan. Rupanya dibalik benda itu terdapat Gunawan yang tengah memeriksa lembar demi lembar surat yang ia terima. Kepalanya mendongak. Tersenyum karena Sandi datang sendirian.

"Kenapa saya dipanggil, Pak?" Posisi berdiri Sandi seperti posisi istirahat dalam hal baris berbaris, hanya saja tidak kaku dan tegang.

"Ini, saya dapat surat kalau kamu bakalan tanding di GOR, PON, dan Olimpic. Lalu kalau berhasil di ketiga kejuaraan itu, kamu akan dikirim ke Amerika. Benar?" Gunawan meletakkan surat-surat yang ia terima.

"Benar, Pak."

"Bagus itu. Kamu luar biasa bisa mencapai kejuaraan sampai tingkat internasional." Senyum Gunawan terbit.

"Kalau Bapak hanya memastikan surat, saya lebih baik kembali ke kelas untuk belajar."

"Eh, tunggu dulu!" sela Gunawan cepat, melambaikan tangannya yang penuh cincin besar dan jam tangan mahal. "Kita ngobrol dululah."

"Pak, saya harus belajar."

"Kita harus bicarain kompetisi kamu ini loh."

"Saya nggak ada waktu sekarang." Sandi berbalik dan beranjak.

"Kamu nggak bisa tanding."

Spontan, kedua kaki Sandi berhenti. Tubuhnya bergeming. Gunawan nampak senang dengan perubahan Sandi yang begitu cepat ia manfaatkan. Senyumnya kembali memancar dengan begitu bahagia.

Tubuh Sandi akhirnya kembali menghadap Gunawan. "Apa Bapak bilang?"

Gunawan bersandar di kursi putarnya sembari menyatukan jemarinya di depan dada. "Katanya kamu mau belajar."

"Saya serius, Pak."

"Saya juga serius!" balas Gunawan tegas. "Kamu memang tidak bisa tanding."

Mulut Sandi lantas terkatup rapat. Bencana besar menghampirinya di saat kompetisi sudah siap di depan mata. Perlombaan itu begitu berarti bagi Sandi, sebab kejuaraannya memang tidak main-main, Sandi selalu ingin dinobatkan jadi orang terkuat.

"Kamu tidak bisa tanding karena saya nggak setuju!" Gunawan menepuk meja. "Kamu pikir, kamu sehebat itu apa? Jangan karena kekuatan, kamu bisa memenangkan lomba selama ini, terus kamu sombong dan mau kembali bertanding seenaknya diluar sana," ujar Gunawan.

"Kenapa nggak? Kenapa Bapak nggak setuju?" tanya Sandi marah.

"Masa kamu nggak ngerti. Sekolah saat ini sedang panas. Banyak guru mogok mengajar, siswa sering meneror saya, kemarin saja ban mobil saya dikempeskan oleh mereka. Ruangan ini terus di demo, disorot kamera televisi yang memberitakan kalau saya korupsi, bahkan saya sudah diperiksa oleh kepolisian karena itu. Setelah peristiwa yang menyekik saya ini, apa pantas kamu dapat persetujuan saya? Apa pantas saya menyenangkan kamu sedangkan kamu justru menghancurkan saya!?"

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang