Bab 10: Harus bagaimana?

1.8K 166 84
                                    

Suasana malam begitu tenang di dalam rumah besar Haris. Cahaya lembut dari lampu gantung yang tergantung di langit-langit ruang tamu menerangi setiap sudut ruangan. Suasana yang hangat dan nyaman terasa begitu menyambut setiap penghuni rumah.

Haris duduk di sofa berwarna cokelat tua yang empuk, sementara Reynal duduk di sampingnya. Mereka berdua saling berhadapan, dengan meja kopi yang terletak di antara mereka. Di atas meja kopi, terdapat cangkir teh hangat yang mengeluarkan uap kecil, mengisi ruangan dengan aroma yang menenangkan.

Awalnya, di sini hanya ada Haris. Namun, Reynal kemudian bergabung setelah terbangun. Reynal merasa haus karena tidak ada air di kamarnya, sehingga ia pergi ke dapur. Sekarang, ia sedang berbincang dengan Haris, Om-nya itu.

"Om, Reynal boleh nanya?"

Haris menoleh, teh yang sedang diseruputnya ia simpan ke meja. "Boleh, Rey. Nanya apa emang? Kok izin dulu?"

Reynal terlihat menghela napas terlebih dahulu. "Keputusan Om buat jadi pelatih basket, karena ayah?"

Haris menundukkan pandangannya, ia sudah menduga Reynal akan bertanya ini padanya. "Kamu tahu 'kan, Rey, ayahmu ingin sekali bisa bermain basket? Om ini, udah terlalu tua buat jadi pemain, makannya Om milih jadi pelatih." Haris menghela napasnya. "Benar kata kamu. Ini, karena ayahmu. Raka juga suka dengan sendirinya setelah Om kasih tahu dia. Om benar-benar nggak mau ngecewain ayahmu lagi, Rey. Setelah tahu hal itu, Om langsung merjuangin profesi ini."

Sejenak, Reynal teringat mendiang ayahnya yang sangat menyukai basket. Sebelum diagnosis itu keluar, ayahnya seringkali mengajarinya bermain basket, hingga tanpa sadar, Reynal jadi menyukainya juga. Reynal sangat berharap hobinya ini menjadi jalan suksesnya nanti, agar ia tetap bisa bermain dengan bola oranye yang sudah menempel dengan tangannya itu. Agar ayahnya ... bangga padanya.

"Kamu, suka basket karena ayah juga?" tanya Haris yang memperhatikan Reynal hanya melamun saja setelah mendengar jawaban darinya.

Reynal mengangguk. "Om, Reynal mau wujudin mimpi ayah. Bisa wakilin kabupaten atau provinsi, atau bahkan ... timnas. Apa bisa, Om?"

"Kenapa gitu? Kamu lagi nggak percaya diri?"

Reynal menggeleng. "Asma Reynal ... jadi presisten, Om."

Haris membulatkan matanya, tangannya terangkat memegang kedua bahu Reynal agar menghadapnya. "Kok Om baru tahu? Kamu selama ini gimana? Habis latihan nggak kambuh, 'kan?"

Reynal tersenyum, menggelengkan kepalanya sembari melepas genggaman tangan Haris di bahunya. "Reynal baik-baik aja kok, Om. Jangan pindahin Reynal dari tim inti ya? Reynal pengen diliat komite seleksi."

Haris masih menautkan alisnya. "Tapi ... janji dulu, jangan collapse." Haris mengulurkan kelingkingnya pada Reynal, ingin membuat janji.

Reynal menautkan kelingkingnya. "Janji, Om," katanya.

Haris tersenyum hangat, tangan satunya terangkat untuk mengelus-ngelus rambut keponakannya itu. "Om bahagia banget ketemu sama kamu ...."

Reynal menurunkan kelingkinya sambil menurunkan tangan Haris yang ada di atas kepalanya juga. "Om? Reynal boleh nanya lagi?"

"Boleh." Haris masih tersenyum hangat pada Reynal, menunggu anak itu melanjutkan pertanyaannya.

"Kalo Reynal boleh tau, kenapa Om sama ayah waktu itu berantem hebat? Kalian sempat saling minta maaf, 'kan?"

🏀🏀🏀

Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]Where stories live. Discover now