Bab 11: Double kill

1.9K 161 76
                                    

Suasana kelas 11 Mipa 3 pagi ini tampak bosan karena jam kosong hadir di jam pelajaran pertama. Tidak ada yang berisik karena rata-rata nyawa mereka belum terkupul, bahkan yang melanjutkan tidurnya di rumah hampir setengah dari isi kelas ini. Termasuk Reynal.

Arkan menaruh ponselnya di atas meja, merasa bosan karena tidak ada yang menarik di sana. Matanya menatap kotak bekal yang baru saja diterimanya dari anak 11 Mipa 6 untuk Reynal, katanya sih dari Raka.

Arkan menoleh menatap Reynal yang masih tertidur tenang di atas lipatan tangan. Merasa aneh karena tak biasanya Reynal tidur di kelas, apalagi pagi-pagi seperti ini.

Awalnya Arkan memperhatikan napas anak itu baik-baik saja, terlihat dari punggungnya yang naik-turun dengan teratur. Namun beberapa detik kemudian, Arkan menajamkan penglihatannya, memperhatikan napas Reynal yang mulai tidak teratur, punggungnya naik-turun dengan sangat cepat.

Arkan menggoyang-goyangkan punggung Reynal dengan pelan, berharap temannya itu akan terbangun. "Rey, bangun! Lo kenapa?!"

Karena kelewat panik, tanpa izin dari sang empu Arkan langsung membuka tas Reynal mencari inhaler. Matanya tak lepas memperhatikan Reynal yang masih kesusahan bernapas dalam tidurnya.

"Rey, bangun!" panggil Arkan lagi. Kini tangannya mengangkat kedua bahu Reynal agar dia terduduk, terlihat Reynal sudah membuka sedikit matanya, melihat itu, Arkan langsung menyodorkan inhaler yang ada di genggamannya pada Reynal.

Reynal dengan tangan gemetarnya menerima inhaler itu. Dengan hati-hati, Reynal memasukkan inhaler ke dalam mulutnya sambil menekan tombolnya. Sebuah semburan obat yang segar langsung memenuhi paru-parunya, terasa dingin dan menyegarkan saat obat itu mengalir melalui saluran pernapasannya. Reynal merasakan napasnya menjadi lebih lega.

"Kenapa, sih? Nggak biasanya lo tidur di kelas, mana kena sleep apnea."  Arkan masih memperhatikan Reynal dengan raut paniknya.

Reynal melepaskan inhaler itu dari genggamannya, kembali menidurkan kepalanya ke atas meja, serangan mendadak tadi membuatnya sedikit lemas. "Tadi cuma mimpi?" tanyanya, ketika teringat kejadian di taman.

"Hah?" Arkan menautkan alisnya, heran dengan ucapan Reynal yang malah balik bertanya.

Merasa Arkan keheranan, Reynal duduk tegap, menatap Arkan yang masih diam menatapnya dengan raut tanda tanya. "Ini belum istirahat?" tanyanya.

"Belum, Rey. Lo kenapa sih? Datang-datang langsung tidur. Mana kambuh, lagi mikirin apa?"

Reynal menghembuskan napas panjang, sedikit lega karena kejadian di taman belakang sekolah ternyata hanya mimpinya. Namun sampai sekarang Reynal masih merasa sedih karena mimpi itu terasa sangat nyata.

Melihat Reynal malah melamun, Arkan mengipas-ngipaskan tangannya ke depan wajah Reynal. "Woy!"

Reynal tersadar lalu menoleh. "Nggak ada apa-apa, kok. Semalam gue begadang," jawabnya, mencoba tersenyum pada Arkan yang masih menatapnya khawatir.

"Kalo udah siap buat cerita, gue siap dengerin. Lo gak pinter bohong, Rey," kata Arkan. Tangannya menggeser kotak bekal yang ada di depannya ke hadapan Reynal.

"Buat gue?"

Arkan mengangguk. "Nasi goreng dari Raka. Katanya lo belum sempat sarapan?"

Reynal menerima kotak bekal itu dengan perasaannya yang lega karena Raka yang memberinya. Itu berarti, dugaan Reynal yang sampai terbawa mimpi itu salah, 'kan?

"Ayo makan, Rey. Mumpung masih jam kosong."

🏀🏀🏀

"Tembak!"

Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora