Bab 21: Masih adakah yang peduli?

1.7K 152 30
                                    

"Reynal!"

Bima yang memanggil, tadi saat ia akan ke ruangan, tak sengaja berpapasan dengan anak-anak basket yang akan pulang. Raut mereka yang terlihat beda, membuat pikirannya penuh tanda tanya. Bukannya tadi tim sekolahnya menang? Alhasil, dirinya menjegat Arkan, lalu langsung berlari ke ruangan ini setelah mendengar semuanya.

Dengan langkah cepat ia memasuki ruangan, menghampiri Reynal yang masih meredam tangisnya. Bima berjongkok, memegang bahu bergetar itu perlahan. Dirinya tak tega melihat Reynal hancur seperti ini, matanya ikut berkaca-kaca menyaksikan Reynal yang menahan air matanya agar tak keluar lagi.

"Rey ...."

Akhirnya Reynal yang sejak tadi menunduk, berani menatap temannya itu. Air matanya berjatuhan lagi saat menatap Bima, dadanya sangat sakit mengingat masalahnya itu kian hari bertambah.

Reynal menggenggam tangan Bima, maniknya sangat ketara menyiratkan luka. "Bim ... lo percaya 'kan, sama gue?" Reynal seakan tahu bahwa Bima sudah mendengar ceritanya.

Bima langsung mengangguk, mengeratkan genggaman tangan itu agar lebih meyakinkan. "Gue percaya, Rey. Gue percaya. Masih ada gue di sini. Lo yang sabar ya, ada gue. Arkan juga pasti balik lagi, dia lagi emosi aja, Rey. Di depan tadi, udah gue omongin kok."

Reynal kembali menjatuhkan air matanya, tak menyangka Bima datang dengan wajah khawatirnya disaat semua orang menatapnya kecewa lalu meninggalkannya begitu saja.

Bima mengelus-ngelus punggung Reynal. "Ayo keluarin semuanya, Rey. Dada lo pasti sakit, 'kan? Dari tadi dipegangin mulu. Ayo keluarin semuanya biar lega."

Mendengar itu, Reynal terisak hebat. "Seberat ini, Bim ... gue bisa gak ya?"

Bima mengangguk cepat, tangannya masih mengelus-ngelus punggung Reynal yang kini semakin bergetar. Tangis anak itu pecah saat Bima menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang dipendam. Reynal menurutinya.

"Rey, lo kuat. Makannya seberat ini. Sabar ya ... ada gue, gue bakal bantuin lo."

"Bim, makasih banyak ya ...." Reynal tersenyum tipis seraya mengusap air matanya, lega karena merasa batu besar yang menghimpit dadanya itu perlahan menghilang.

Bima membalas senyum itu seraya mengangguk, ikut merasa lega melihat Reynal sudah lebih tenang seperti ini. "Gue ngambil tas gue dulu ya, Rey?"

"Lo nyimpen di sini?"

Bima kembali mengangguk, telunjuk panjangnya ia arahkan ke pojok ruangan. Reynal yang melihatnya sedikit terkejut, ia baru melihat tas Bima dan teman-teman klubnya berkumpul semua di pojok sana.

"Tim gue gak disediain tempat hari ini, jadinya ikut tim basket aja nyimpen barang-barangnya."

Reynal mengangguk. "Bim, gue ... boleh ikut pulang bareng lo?"

"Boleh dong, Rey. Btw, lo gak bawa motor kah?"

Reynal menggeleng pelan. "Tadi gue bareng om, Bim."

Bima mengelus bahu Reynal, merasa kasihan melihat temannya itu kembali menunduk lesu. Pasti, Reynal kecewa dengan om-nya yang juga meninggalkannya sendirian di sini.

"Pulang bareng gue. Kalo pas pulang, om lo masih marah, gue bakal bantuin lo ngomong."

🏀🏀🏀

Apa yang ditawarkan Bima untungnya tidak terjadi. Haris memang masih terlihat marah, namun ketika pulang, Reynal langsung disambut oleh Safira yang mengelus rambutnya sambil mengucapkan kalimat penenang, mengabaikan Haris yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan penuh tanda tanya pada keponakannya itu.

Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]Where stories live. Discover now