Bab 22: Kembali kuat walau masih rapuh

1.8K 159 34
                                    

Fajar menyingsing di sekolah, menandai awal hari baru. Suara bel berdentang, memecah kesunyian pagi, anak-anak mulai berlarian ke kelasnya, membawa semangat dan harapan barunya. Namun, di tengah keramaian itu, Reynal merasa seolah berada di tengah badai.

Ia berjalan pelan melintasi koridor sekolah, melihat teman-temannya tertawa dan bercanda. Lagi-lagi Reynal merasa terasing. Masalah-masalah yang sedang dihadapinya membuatnya merasa terombang-ambing, seperti kapal kecil di tengah lautan yang sedang badai.

"Rey!"

Suara itu memecah kesunyian di hatinya. Reynal menoleh, menemukan Bima berlari ke arahnya dengan senyuman pagi yang cerah. Di belakangnya, Arkan tampak asik dengan ponselnya, berjalan pelan seolah dunia di sekitarnya tak ada.

"Ayo bareng," ajak Bima, menepuk pundak Reynal dengan semangat. Reynal mengangguk, matanya tak bisa lepas dari Arkan yang tampaknya tenggelam dalam dunia pribadinya.

Bima yang menyadari tatapan Reynal, merangkul temannya itu dan mengajaknya berjalan lebih cepat, meninggalkan Arkan yang masih asik dengan ponselnya.

"Bim, Arkan masih marah ya, sama gue?" tanya Reynal, matanya menatap Bima dengan penuh harap.

Bima menggeleng. "Udah jangan terlalu dipikirin," kata Bima, hatinya tak tega melihat temannya itu murung. "Kemarin gimana tes di lab-nya? Lancar 'kan?"

Reynal mengangguk, menghembuskan napas panjang. Matanya kembali menatap Arkan yang masih asik dengan ponselnya. Jika memang Arkan sibuk dengan ponselnya, mengapa pesan yang dikirimkannya belum dibalas?

Saat pintu kelas 11 Mipa 3 semakin dekat, Bima meminta Reynal untuk masuk lebih dulu, tanpa menunggu Arkan yang masih jauh di belakang. Reynal menurut, namun matanya masih fokus menatap pintu, menunggu kedatangan Arkan.

Beberapa menit kemudian, Arkan tiba. Ia menghampiri bangkunya, namun tidak duduk. Anak itu mengambil sesuatu dari laci meja, lalu berjalan ke bangku samping paling pojok dekat jendela, menghampiri bangku Arga--sang ketua kelas.

Reynal masih memperhatikan, hatinya terasa sakit saat eksistensinya diabaikan oleh temannya itu. Reynal melihat Arga membereskan barang-barangnya, menghampirinya sambil memasang wajah heran. Reynal masih melihat Arkan walaupun Arga sudah duduk di sebelahnya. Temannya itu kini tak fokus pada ponsel lagi, tapi beralih memunggunginya.

"Rey, lo lagi berantem sama Arkan?"

Reynal menelan salivanya seraya menoleh menatap Arga, ketua kelasnya itu masih menautkan alisnya. "Arkan marah, gue nggak tau harus minta maaf kayak gimana lagi."

"Udah coba ngomong?"

"Lo liat 'kan, tadi? Dari koridor aja dia udah nyuekin gue, Ga."

Arga menghela napas. "Ya udah, gue harap cepet baikan deh, kalian. Gak enak duduk di sini, gak kena AC alami."

Reynal hanya mengangguk menanggapi. Ia mengalihkan fokusnya ke papan tulis yang sudah bersih, menunggu kedatangan guru mata pelajaran hari ini. Setidaknya, Reynal akan melupakan masalahnya sejenak dengan memikirkan materi yang akan dipelajari.

🏀🏀🏀

Nyatanya, harapan Reynal hari ini kembali patah. Arkan masih tidak ingin berbicara, bahkan menatapnya pun enggan. Reynal hanya bisa pasrah, luka ini lebih menyakitkan dari yang kemarin. Ternyata dijauhi oleh teman menyakitkan sekali.

Reynal; Dribble of Destiny √ [Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora