Part 14: Old Flame

5.6K 943 92
                                    

Sebagian besar orang mungkin merasa bahwa waktu adalah satu-satunya hal yang mereka khawatirkan. Waktu yang tidak dapat diulang kembali tentunya membuat sebagian besar orang lebih berhati-hati dengan bagaimana mereka menghabiskan waktu mereka. Mereka khawatir jika mungkin mereka tidak akan sempat melakukan banyak hal yang mereka inginkan karena mereka kehabisan waktu.

Namun bagi Seokjin, waktu bukanlah masalah.

Jika waktu adalah masalah, maka Seokjin pastinya sudah merasa marah pada bagaimana waktu membuatnya mengalami semua yang dialaminya selama bertahun-tahun. Jika Seokjin bisa menyalahkan sesuatu atau seseorang, dia tidak akan segan menyalahkan waktu dan juga Tuhan yang telah membuatnya menghadapi semua ini.

Seluruh semesta seolah mengatakan padanya bahwa Seokjin tidak layak mendapatkan sesuatu dengan mudah. Semesta seolah mengatakan padanya bahwa dia bukan bagian dari orang-orang beruntung yang hanya perlu bernapas dan mereka akan mendapatkan semua yang mereka inginkan.

Tidak, Seokjin harus merangkak di atas duri untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan Seokjin akan melakukan apapun untuk itu.

Bahkan jika itu berarti Seokjin harus mempertaruhkan dirinya dalam sebuah pertaruhan besar dengan iblis, Seokjin akan melakukannya.

Seokjin mengetuk-etuk jari telunjuknya dengan berirama di atas pahanya, di sebelahnya, Jungkook duduk diam seraya membaca sebuah buku. Seokjin melirik Jungkook dan menghela napas pelan, jika ada satu hal yang benar-benar tidak disukai Seokjin setelah pernikahannya dengan Namjoon, itu adalah betapa lowongnya waktunya.

Dia tidak melakukan apapun seharian jika kebetulan dia tidak harus menghadiri acara untuk menemani Namjoon. Seokjin berdiri dengan gerakan cepat dari posisinya di sofa, langkah kakinya lebar dan panjang ketika dia melintasi ruangan menuju sebuah grand piano berwarna hitam yang mengkilat.

Seokjin duduk di depan piano itu dan perlahan mengangkat tutup tuts piano, dia pernah sangat ahli dalam urusan bermain piano ketika dulu dirinya masih memiliki piano. Seokjin sudah lupa rasanya menekan tuts dan kenangan ketika dirinya memainkan piano memasuki ingatan Seokjin. Dia ingat hari-hari ketika dia akan bermain piano dengan ibunya yang duduk di sebelahnya, mendengarkan permainan Seokjin dan memujinya.

Jari Seokjin bergerak mengelus tuts dan menekannya pelan, suara nada piano terdengar mengisi ruangan dan itu membuat Jungkook berdiri dari posisinya yang sebelumnya duduk di sofa.

"Anda bisa memainkan piano, Tuan?" tanya Jungkook.

"Seokjin," sela Seokjin mengingatkan karena Jungkook lagi-lagi memanggilnya 'Tuan', "Dan untuk menjawab pertanyaanmu, maka jawabannya adalah 'ya', aku bisa bermain piano." Seokjin kembali menekan tuts dengan random.

"Ah, apakah itu sebabnya Tuan Namjoon tiba-tiba saja membeli piano besar untuk diletakkan di rumah ini?"

Seokjin menyentakkan kepalanya ke arah Jungkook ketika mendengar kalimat itu, "Apa kau bilang? Namjoon membeli piano ini secara tiba-tiba?"

Jungkook mengangguk, "Ya, kira-kira dua hari sebelum anda pindah ke rumah ini, seseorang datang mengantarkan piano ini. Sebelumnya di rumah ini tidak ada piano, bahkan saya rasa tidak ada satupun alat musik di rumah ini."

Seokjin mengerutkan dahinya, "Tapi Namjoon bisa bermain piano." Dia memalingkan pandangannya dan kembali memandang piano di hadapannya, "Dulu aku dan Namjoon sering bermain piano bersama di rumahku." Seokjin mengelus tuts piano dengan gerakan perlahan, "Dia tidak pernah bermain piano lagi?"

Jungkook tertegun, sepertinya menyadari perubahan nada suara Seokjin yang perlahan mengambang dan terdengar tidak fokus. "Apakah anda baik-baik saja, Seokjin?"

LiéWhere stories live. Discover now