06 : Vitamin C

597 89 7
                                    

Puisi menopang dagunya, matanya masih sibuk melihat bundanya dengan tante Cantika sibuk di dapur membuat kue. Lalu bola matanya menatap Kata yang sedang mengambil sebotol air putih dari kulkas, otak nya terputar begitu saja mengingat jawaban ambigu abangnya semalam, apa abangnya ini beneran jatuh cinta atau tidak. Bibirnya gatal untuk bertanya langsung.

"Eh bang Kata, ambil minum bang." Sapa Puisi berbasa-basi terlebih dahulu.

"Yaiyalah ambil air minum, kamu gak lihat segede itu kok botol minumnya." Jawab Bundanya. Puisi melirik sinis ke arah Bundanya.

Ganggu aja. Kesal Puisi dalam hati.

"Ish Bunda nyahut aja, gak baik Bunda nguping pembicaraan orang." Ucap Puisi sok menasihati.

"Nguping gimana, orang kamu bicaranya gak bisik-bisik juga." Kekeh Bundanya diikuti kekehan tante Cantika.

Sebelum Kata benar-benar pergi dari dapur, Puisi langsung bersuara, "gimana bang sama cewek kemarin, mau gak dia di ajak nikah sama bang Kata?"

Kata tersedak dengan air minum yang sudah terlanjur masuk ke tenggorokkan, sementara Bundanya membulatkan mata sempurna mulutnya menganga, ekspresi tante Cantika tak jauh beda dari Bundanya sekarang. Tatapan kedua ibu itu mengarah pada Puisi dan Kata bergantian meminta penjelasan.

Jubaidah menatap penuh selidik pada Kata. Merasa di tatap seperti itu Kata jadi salah tingkah sendiri.

"Hoax," jawab Kata akhirnya.

Lalu tatapan Jubaidah ke arah Puisi meminta klarifikasi, "mana ada, Puisi gak bohong Bunda, bang Kata emang lagi jatuh cinta. Bang Kata nya aja yang masih malu-malu."

"Bener Kata?"

Kata segera menggeleng. Ia ingin segera pergi sekarang dari situasi ini tapi Bundanya terus menatapnya seakan mencari celah kebohongan.

"Gerak tubuh sama ekspresi wajahmu berbeda. Itu artinya kamu bohong." Jubaidah langsung tersenyum sumringah lalu ia segera menghampiri anak pertamanya, tak peduli di tangannya sekarang masih tertempel adonan. "Siapa namanya?" tanya Jubaidah tak sabaran.

Kata terpojokkan. Ia bingung harus jawab bagaimana. Baginya terlalu cepat kalau dia bilang sekarang, tapi tak bisa berbohong sekarang sama Bundanya kali ini, masalah gerak tubuh ekspresi wajah Bundanya ini terlalu jeli dan selektif. Maka dengan begini Kata ambil jalan tengah.

"Kata ke kamar dulu, tadi Dady telpon minta tanganin rapat sama klien ke kantor." Setelah itu Kata pamit dengan tersenyum canggung.

Ketiga perempuan yang ada di dapur tersenyum simpul sekaligus bahagia menarik kesimpulan yang sama di dalam kepala.

"Kapan kita Bun, buat seserahan ke pacarnya bang Kata?" tanya Puisi antusias, "Puisi gak sabar pengen gendong bayi yang unyu dari Bang Kata. Waah Puisi gak bisa bayangin gimana tuh wajah bayi kalau lahir pasti cakep banget secara bang Kata kan gantengnya gak ketolongan, tapi kalau dinginnya gak usah di warisin deh, kan gak lucu baru lahir udah irit bicara, nangisnya sebentar-sebentar." Jeda Puisi sebentar, "uwee uwee." Lanjut Puisi menirukan suara bayi tapi dengan nada yang gak ada sedihnya, nangis datar.

Jubaidah dan Cantika terkekeh mendengarnya.

"Lancar banget yaa kalau urusan ngeledek abang-abang kamu itu." Gemas Jubaidah mencubit pipi Puisi, "kamu sendiri kapan nikahnya, biar Bunda bisa gendong cucu." Goda Jubaidah.

Mendengar itu pipi Puisi langsung bersemu merah, pikirannya langsung tertuju pada wajah Nathan, ia bertopang dagu sambil tersenyum, "pengennya sih sekarang, biar Bunda bisa nimang cucu dari Puisi tapi Nathan nya belum siap. Tapi nanti Puisi coba tanya deh sama Nathan, kapan mau lamar Puisinya."

Hello Jodoh!!! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang