4

7.7K 888 60
                                    

"Kamu yakin, Na?" Aku mengangguk, menjawab pertanyaan dari Anisa yang ada di depanku sekarang ini, "Memangnya harus pergi?"

Aku hanya mengangguk lagi, bibirku bergetar, aku yakin satu kalimat saja lolos dari bibirku, aku yakin, tangis yang sedari tadi kutahan akan meluncur keluar.

Anisa menatapku prihatin, tatapan sendunya seolah merasakan apa yang kurasa, sama sepertiku yang syok saat mendapati Raka melamar Mbak Chandra, Anisapun nyaris pingsan di buatnya, sumpah serapah dan banyak kalimat cacian keluar dari bibirnya mengutuk dua orang yang kupercaya tersebut.

Dan saat Anisa meraihku kedalam pelukannya, tangis yang kutahan sejak tadi langsung menjadi, menjadi isakan dan raungan keras.

Di pelukan Sahabatku, aku bisa menumpahkan rasa yang seolah mencekikku dengan kuat, di depan orangtuaku, aku tidak bisa menunjukkan betapa hancurnya diriku karena Raka.

"Keluarin semua, Na. Nangis dan ngerasa sakit hati itu wajar, ada gue Na. Ada gue."

Anisa benar, ada dirinya yang menopangku, memberiku kesempatan untuk menunjukkan diriku yang sebenarnya, usapan di punggungku membuatku sadar, jika aku masih berpijak dibumi dimana menangis karena rasa sakit adalah hal yang wajar.

Anisa mengusap air mataku dengan tisu, begitu telaten, seperti layaknya seorang Kakak yang menghibur adiknya, sungguh satu keberuntungan untukku mendapati sahabat sebaik dirinya ditengah semua kesedihan yang menimpaku, ternyata, kadang yang bukan sedarah, justru menolong kita dengan begitu tulusnya.

"Setelah ini, lo harus bangkit, jangan biarin dua orang yang nyakitin lo bahagia lihat lo kesakitan kayak gini."

Aku mengangguk, tidak bisa lagi berkata-kata.

"Terkadang jalan yang diberikan Tuhan itu tidak bisa kita mengerti, Rana. Tapi percayalah, ini yang terbaik untuk semuanya sekarang ini, Na."

Terbaik untuk semuanya, tapi aku rasa tidak untukku, semua ini terasa begitu tidak adil, dan tidak semudah perkataan Anisa untuk menerimanya dengan lapang dada.

Seolah mengerti akan apa yang kupikirkan, perempuan manis dengan hijabnya ini menggeleng, menampik apa yang ada di dalam kepalaku.

"Jangan menyalahkan takdir milik penguasa Jagad ini, Rana. Kamu bisa tenang terbang di dalam pesawat tanpa mengenal pilotnya, pasrah dengan sang pengendara memilih jalannya asal kamu bisa sampai tujuan. Lalu kenapa kamu harus segalau ini dengan jalan yang di pilihkanNya? Merutuki jalan terbaikNya seolah kamu akan mati esok hari, Dia adalah pemilik kita, Rana. Yang mengerti kita lebih dari kita sendiri."

Aku terdiam, setiap kalimat Anisa seakan menelanjangiku, perasaan dan hatiku yang sudah mati membuatku terus menerus menyalahkan Tuhan, tanpa pernah sedikitpun aku berkaca, sudah pantaskah diriku menyalahkan semua kemalangan yang kurasakan.

Tangisku kembali tumpah, mengingat betapa aku ini hamba Tuhan yang sangat tidak tahu diri. Selama ini aku begitu jauh dari-Nya, mungkinkah ini teguran dari Tuhan atas nikmat yang selama ini luput dari rasa syukurku.

"Jadikan pelajaran, Na. Jangan terlalu mencintai ciptanNya melebihi cinta kepada-Nya, karena diantara banyaknya cinta, hanya cintanya yang tidak akan pernah mengecewakanmu."

".................."

"Jika pergi menjauh adalah hal yang terbaik untuk sekarang, maka pergilah. Jodohmu akan datang padamu diwaktu yang tepat dan tidak akan salah alamat."

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

"Disana baik-baik sama Ayah. Yang benar belajarnya, biar bisa cepat-cepat urus praktek sendiri."

Aku mengangguk, untuk kesekian kalinya menjawab pesan-pesan Ibu yang beliau berikan seiring dengan langkahku yang menyeret koper besar berisi barang-barangku.

Sedikit wajah tidak rela Ibu terlihat melihatku hampir melangkah menuju pintu. Meninggalkan rumah yang sudah kutempati seumur hidupku ini.

"Sering-sering pulang kesini, atau kalau nggak Ibu yang akan datang kesana."

Aku hanya mengulas senyum, tanpa menjawab apa yang diminta Ibu, rasanya akan sulit untuk pulang kerumah ini.

Ku perhatikan rumah yang di desain Ayahku sendiri untuk terakhir kalinya, aku masih belum memikirkan kapan waktu terdekat untuk pulang.

Rumah ini seakan menjadi saksi bisu antara aku, Mbak Chandra, dan juga Raka. Dirumah ini menjadi tempatku menangis bahagia, dan menangis para hati, saksi dimana aku begitu antusias menyambut kencan malam minggu pertama, dan malam minggu lainnya yang banyak kuhabiskan bersama Raka.

Kenangan indah yang begitu pahit sekarang ini.

"Bu, Rana cuma ke Jakarta. Dua jam naik pesawat, dan disana Rana juga sama Ayah, harusnya Ibu senang dong, Rana bisa awasin Ayah biar nggak ada yang gangguin."

Selorohanku membuat Ibu tertawa, Ibu dan Ayah, sedari dulu aku sangat menginginkan akhir kisah bahagia seperti beliau berdua, menjalin kisah sedari SMA dan berakhir dengan pernikahan yang berbahagia. Tidak ada masalah besar seperti yang kuingat hingga aku sebesar ini, kehidupan rumah tangga yang begitu manis layaknya persahabatan untuk selamanya, perdebatan kecil dan rajukan justru menjadi bumbu manis dalam pernikahan Ayah dan Ibu.

Sejauh apapun Ayah dan Ibu terpisah karena pekerjaan, sepertinya hal tersebut bukan masalah untuk Ayah dan Ibu, kepercayaan yang mereka junjung tinggi sebagai landasan dalam hubungan beliau berdua membuat rumah tangga Ayah dan Ibu menjadi begitu harmonis.

Aku ingin seperti beliau berdua, menemukan cinta sejati dan berakhir bahagia.

"Rana, jangan terus meratapi keadaan yang sekarang terjadi ya." Ibu mengusap wajahku, walaupun kini aku sudah lebih tinggi dari Ibu, dimata orangtua, aku tetaplah seorang anak kecil, raut sendu kembali terlihat, tanpa aku perlu bercerita, Ibu adalah seorang yang bisa membaca perasaanku dengan begitu tepat. "Semoga apa yang terjadi semakin membuat anak Ibu ini menjadi lebih dewasa."

Aku meraih tangan Ibu yang menangkup wajahku, mengecupnya sebagai ungkapan terimakasihku pada beliau.
Jika bukan karena Ayah dan Ibu, mungkin aku sudah gila dan berbuat nekad karena patah hati.

Hati, jangan terus menerus bersedih, kesedihanmu bukan hanya menggerogoti jiwaku, tapi juga mengikis kebahagiaan kedua orangtuaku.

"Rana sudah rela kok. Ayah sama Ibu harus jalanin wasiat terakhir Pakde Yudha, Rana nggak mau, karena Rana, Ayah ingkar sama janji Ayah."

Walaupun tidak rela ini jalannya, keegoisan bukan menjadi pilihan di hidup yang sebenarnya. Bisa saja aku merengek pada Ayah, meminta beliau untuk lepas tangan dari Mbak Chandra jika hatiku penuh dendam.

Nyatanya, melihat Ayahku berdosa karena diriku, akupun tidak mau. Aku tidak ingin menjadi sama buruknya seperti mereka.

Kini, yang bisa kulakukan hanya menyelamatkan hatiku sendiri, agar tidak hancur saat melihat pesta yang sedari dulu menjadi mimpiku.

Suara klakson mobil Anisa yang terdengar memutuskan perbincanganku dengan Ibu, akhirnya perpisahan karena patah hati yang kurasa harus terlaksana jua.

Aku pergi disaat Pujaan Hatiku akan berbahagia, menghelat pesta meriah yang dulu sempat menjadi mimpi kami berdua. Aku hanya pengecut, bukan seorang kuat yang akan berdiri tegak dan tersenyum lebar pada saat pesta pernikahan mereka.

Biarlah mereka bahagia.

Senyum Anisa menyambutku di dalam mobil, bersyukur, ditengah keputusasaanku aku masih mempunyai sahabat sepertinya, mengingatkanku tanpa mengguruiku.

Sayangnya, baru saja mobil Anisa keluar dari halaman rumah, sebuah mobil yang kukenali dengan betul siapa pemiliknya terparkir di sisi jalan depan rumah.

"Bukannya itu mobil Raka?" celetukan Anisa menyuarakan isi kepalaku, "Mau ngapain dia parkir depan rumah lo? Nguntit lo apa gimana?"

"Mobil kayak gitu, banyak di Solo, Sa." sanggahku cepat, walaupun dari plat nomornya aku tahu jika itu adalah mobil Raka, aku tidak ingin mendengar namanya disebut lagi, apalagi dengan harapan semu yang begitu mustahil.

Raka, sudah puaskah aku melihatku pergi karenamu dan Mbak Chandra?

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now