5

8.2K 902 50
                                    

Pelukan erat kudapatkan dari Anisa sebelum akhirnya suara nomor pemberangkatanku di sebut.

Jika aku mempunyai saudara atau kakak laki-laki aku akan sangat menjodohkan Kakakku tersebut dengan Anisa.

"Baik-baik ya disana, Na." aku mengangguk, layaknya anak kecil yang mendengar satu nasehat saat akan bepergian. "Ingat satu hal, pasrahkan semuanya pada Tuhan, jika jodoh Tuhan akan membawa Raka kembali."

Kembali, rasanya sangat mustahil, seorang yang pergi meninggalkan kita akan kembali. Aku takut untuk berharap pada hal yang sepertinya akan melukaiku.

"Dan jika tidak, maka Tuhan akan mempertemukanmu dengan cinta lainnya yang akan menyempurnakanmu."

Untuk terakhir kalinya aku memeluk Anisa, mengungkapkan banyak terimakasih yang tidak bisa kuutarakan dengan kata-kata semua hal yang telah dilakukannya untuk menguatkanku yang sedang berada di titik terendah seperti sekarang ini.

Di tengah segala piluku, sungguh beruntung aku mempunyai sahabat sepertinya, dia menenangkanku, membuka mataku jika masih banyak hal yang harus ku syukuri, bukan malah menghasut dan membuat hatiku semakin buruk.

Aku hendak berbalik, menuju ruang tunggu saat seseorang yang beberapa hari lalu kusiram dengan kopi berdiri jauh di seberangku, menatapku datar saat aku balas menatapnya.

Sedari tadi, memang benar dia yang membuntutiku dengan entah apa tujuannya. Dia menyakitiku, melukaiku dengan sikapnya, bahkan dia sendiri yang berkata tidak akan meminta maaf atas hal yang menjadi pilihannya.

Lalu, kenapa dia sekarang ada disini, mematung di kejauhan dan menatapku dalam diam. Jika kemarahan masih berkobar besar di dalam hatiku, ingin rasanya aku menghampirinya, memukulnya keras dengan ransel yang kubawa.

Sayangnya, rasa kecewaku lebih besar dari kemarahan. Aku sudah tidak ingin membuang waktu untuknya, bahkan untuk sekedar menghajarnya, sama seperti yang dikatakan oleh Anisa, biarkan Takdir yang menyelesaikan segalanya sementara aku menjalani hidupku seperti yang seharusnya.

Aku tidak sanggup untuk datang dan mengucapkan selamat atas pernikahan Kakakku sendiri dan Mantan kekasihku, maka aku memilih pergi.

Melipir sementara waktu, dari lingkungan yang akan memberikan tatapan kasihan dari apa yang terjadi padaku.

Aku mencintai Raka, cinta yang sedari dulu hingga sekarang tidak berkurang sama sekali walaupun sudah terkhianati, untuk sekarang biarlah rasa cinta ini ku simpan seorang diri hingga pemilik cinta yang sebenarnya datang dan menghampiri.

Aku berbalik, mengambil langkah meninggalkan segala hal yang ingin kulupakan seolah tidak melihat sosok dibelakang sana yang masih memandangku, satu langkah untukku memulai hidupku yang baru.

Tanpa cinta yang selama ini menjadi tujuanku. Memang benar ya, yang dikatakan orang bijak. Manusia boleh berencana, dan Tuhan yang akan menentukan. Tapi tetap saja, sebaik apapun rencana manusia, rencana Tuhanlah yang terbaik untuk semuanya.

Dan kini, aku mulai belajar mempercayai hal tersebut.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Jakarta, tempat yang menjadi tujuanku sekarang ini. Selama ini aku sangat enggan untuk datang ke Ibukota untuk menghampiri Ayah dikala liburan, dan sekarang Kota ini menjadi tujuanku.
Tujuan untukku memulai segalanya yang baru.

Dalam benakku, aku ingin segera memiliki izin praktek Dokterku, dan jika otakku mampu, aku ingin sekali mewujudkan mimpi menjadi dokter spesialis anak.

Mimpi indah yang akan menjadi goalsku yang baru, menggantikan goalsku yang tidak tercapai.

Disini, tidak akan ada yang mengenalku, menatapku penuh kasihan dan rasa iba atas apa yang terjadi.

Sembari menyeruput secup besar Kopi yang begitu menyegarkan di udara Jakarta yang panas, kuraih ponselku, berniat memesan Taxi untukku menuju apartemen Ayah yang akan menjadi tempat tinggalku selama aku berada disini.

Tapi mendadak, langkahku terhenti saat seorang yang tiba-tiba menghampiriku, seorang berseragam dan berbaret sama seperti Raka.

Wajah tegas dengan hidung mancung itu menghampiriku dengan langkah mantap, membuatku harus menengok ke kanan dan ke kiri memastikan jika seorang dengan nama Rafli Ilyasa ini tidak salah orang.

Mata kami bertemu, seumur hidupku, baru kali ini ada orang asing yang menatapku setajam ini, seakan dia ingin mengetahui seluruh hal yang ada di dalam kepala dan juga hatiku.

"Apa ada masalah, Letnan?" Aku beringsut mundur, ngeri sendiri dengan pandangan darinya saat tiba-tiba dia meraih tanganku dan berlutut.

God!!

Aku menutup mulutku rapat, nyaris saja berteriak sekarang ini melihat tingkah seorang Perwira muda yang mendadak menjadi gila, sekuat tenaga aku berusaha melepaskan genggaman tangannya, semakin kuat dia mencengkeram erat tanganku.

Mau apa laki-laki sinting ini? Tidak tahukah dia, jika sekarang dia menjadi pusat perhatian di Bandara besar ini.

Berpasang-pasang mata melihat kami berdua, melingkari kami dan tersenyum penuh kebahagiaan, sungguh berbanding terbalik denganku yang justru merasa horor akan tingkah dari Letnan ini.

"Apa yang kamu lakukan, tolol!" sungguh umpatan yang baru saja kukeluarkan rasanya masih terlalu sopan, jika tidak mengingat gelar sarjana kedokteran di belakang namaku, mungkin aku akan mengumpatnya dengan kalimat kebun binatang.

Aku pergi ke Jakarta untuk menenangkan diri, dan baru saja sampai di koridor Bandara, hal buruk sudah menimpaku.

Setelah mendapatkan umpatanku, bukannya berhenti melakukan hal gila, senyum lebar seolah bahagia justru terlihat di wajahnya, membuatku semakin yakin jika seorang yang pernah di gembleng di lembah tidar ini benar-benar mengalami gangguan jiwa.

"Kirana Prayudhi." suara kerasnya yang menyebut namaku membuatku semakin dibuat terkejut dibuatnya, seumur-umur aku tidak pernah mengenalnya, dan dia bisa tahu namaku. Tapi apa yang dilakukannya sekarang ini hanya permulaan, karena kalimat selanjutnya yang meluncur keluar membuatku terkejut bukan kepalang. "Menikahlah denganku?"

Senyuman miring terlihat diwajahnya saat sorakan-sorakan keras yang memintaku untuk menerima lamaran laki-laki asing ini. Bagaimana aku akan menerimanya jika aku bahkan baru kali pertama melihat seorang yang bernama Letnan Rafly Ilyasa ini.

Ditengah diriku yang sedang syok atas drama murahan yang mungkin saja bagian ToD ini, sebuah cincin emas disematkan di jemariku tanpa ada persetujuan apapun di tengah kebingungan yang melandaku.

Aku membeku, sama sekali tidak bisa bergerak sedikitpun atas hal gila diluar dugaan ini, terlebih saag sorakan semakin menggila dari mereka yang ada di sekelilingku, layaknya sebuah selebrasi acara lamaran sungguhan yang diterima.

Mata tajam itu menatapku, tersenyum puas penuh makna yang membuatku ketakutan sendiri, seakan tujuannya memang terjadi.

Saat kesadaran mulai menguasaiku, dengan cepat aku beranjak mundur, berbalik dan berlari menyeruak kerumunan orang-orang yang menjadi penonton drama murahan yang melibatkan aku sebagai bintang utama dadakannya.

Takut, tentu saja, siapa yang tidak takut jika tiba-tiba ada orang asing yang datang dan melamar kita ditengah keramaian.
Dia tahu diriku, dan aku sama sekali tidak mengenalnya.

Sepertinya, keputusanku untuk pergi ke Jakarta adalah hal yang keliru. Aku datang kesini untuk menyembuhkan lukaku atas cinta, dan takdir justru menyeret laki-laki asing yang tidak kukenali ke hadapanku, lengkap dengan kegilaannya yang membuatku takut.

Dengan asal aku menaiki taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya, tidak ada yang kupikirkan di otakku, kecuali aku ingin segera berlari sejauh mungkin dari seorang yang mengikuti di belakangku.

Berjalan santai sementara aku terengah-engah mengatur nafas. Seringai mengerikan terlihat diwajahnya saat dia menahan pintu mobil yang akan kututup.

"Kamu tidak bisa lari dariku! Mine!"

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now