Jawaban dari Keraguan

6.2K 797 35
                                    

"Kok masih disini, Na?" pertanyaan dari Dokter Mira membuatku mengalihkan perhatianku dari layar ponsel. "Nggak dijemput lagi sama Pacarmu si Abang loreng yang punggungnya pelukable itu?"

Dokter Mira bukan orang pertama yang menanyakan hal ini padaku, mulai dari staff Rumah Sakit hingga rekan dokter baruku disini tak hentinya menanyakan kenapa aku pulang sendirian.

Sejak pertama kali aku bekerja, Raflilah yang dipercaya Ayah untuk mengantar dan menjemputku, jikapun dia sedang ada urusan penting di Batalyon, seorang Serda bernama Yoseph yang merupakan kepercayaannyalah yang dimintanya untuk menjemputku.

Kehadirannya yang nyaris tak pernah absen dan juga lamaran antimainstreamnya di Bandara waktu itu membuat semua orang langsung menganggap jika Rafli benar kekasihku.

Rafli memang licik, seorang dengan akal pintar yang tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, karena ulah gilanya melamarku tersebut membuat desas desus para rekan kerjaku khususnya yang laki-laki langsung menjaga jarak atas diriku.

Rafli, secara tidak langsung dia telah membuat semua orang berpikir jika aku adalah miliknya.

Dan kini, setelah syarat yang kuberikan padanya, ketidakhadirannya dalam menjemputku mengundang tanya bagi yang lain.

Sudah kubilang bukan, dimata Ayah, Rafli jauh lebih di percaya daripada Anaknya sendiri. Mungkin lambat laun kemampuanku menyetir akan musnah saking parnonya Ayah yang tidak mengizinkanku mengemudi di tengah kemacetan kota Jakarta.

Bersama Rafli, Ayah seolah menemukan sosok seorang anak laki-laki yang tidak beliau miliki. Selama ini hanya kemanjaanku dan Mbak Chandra yang mengisi hari-hari Ayah.

Aaaahhhh, Mbak Chandra, sudah pasti dia sedang berbahagia, menyiapkan hari bahagianya.

Buru-buru aku menggeleng, mengenyahkan pikiran dan rasa iri akan kebahagiaan yang bukan milikku. Tidak, aku tidak ingin mempunyai penyakit hati yang akan membuat nuraniku membusuk.

"Rafli maksudnya, Dok? Dia sibuk di Batalyon kayaknya." jawabku asal, tidak mungkin juga akan kujawab jika aku melarang Rafli menemuiku karena satu permainan yang menjadikan takdir sebagai wasitnya.

Dokter Mira turut duduk disampingku, menemaniku yang menunggu Taxi online.

"Udah berapa lama kamu pacaran sama dia, Na? Dilihat gimana dia merlakuin kamu, sudah pasti bukan waktu yang sebentar. Biasanya cowok yang cuek sama sekitar tapi hangat ke pasangannya itu type yang setia Na. Kalau udah satu ya satu aja."

Rafli, dia memang seorang yang hangat untukku, tidak banyak berbicara seperti Raka, tapi dia selalu menunjukkan dengan perbuatan yang menunjukan betapa istimewanya aku untuknya.

Dokter Mira tidak tahu saja, jika dia adalah orang baru untukku.

Selama bersama Raka, aku selalu berusaha menjadi sempurna, was-was dan takut aku tidak cukup pantas bersanding dengan laki-laki se sempurna dirinya, tapi selama kurang dari dua minggu nyaris setiap hari bersama Rafli, tidak sedikitpun dia membicarakan hal yang membuatku berkecil hati.

Tidak ada pujian berlebihan, ataupun kritikan yang pedas akan apa yang kulakukan.

"Menurut Dokter Mira, apa Rafli merlakuin aku secara istimewa, Dok?" tanyaku hati-hati, walaupun aku tahu perlakuannya padaku berbeda aku tidak ingin besar kepala.

Tepukan keras nan heboh kudapatkan dari seniorku sekarang ini, terlihat gemas dan kesal secara bersamaan karena pertanyaanku barusan. "Kamunya nggak ngerasain istimewanya dia sama kamu, Na? Sama suster Hanifah yang biasanya bikin pasien koma langsung bangun aja dia anteng-anteng saja, kurang food gimana coba. Kamu ngerasa ragu sama dia, Na?"

Kuusap bahuku yang sedikit perih karena tepukan keras Dokter Mira barusan, serasa mengangguk, hingga akhirnya sebelum dia bertanya lebih jauh, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya yang kualami pada Dokter Mira.

Dimulai dari hubunganku dengan Raka yang tiba-tiba berakhir karena kekasihku yang akan menikahi Kakakku sendiri, pelarianku yang menuju Jakarta dan justru disambut lamaran gila oleh Rafli.

Juga tentang kedekatan Ayah dan Rafli yang berlangsung jauh sebelum aku datang kemari dan hingga tiga minggu yang lalu Rafli datang melamarku.

Semua terjadi begitu cepat dan sulit untuk ku percaya, jangankan aku, Dokter Mira saja menunjukkan banyak ekspresi yang tidak kuduga, mulai dari geram saat aku menceritakan Raka, hingga tercengang saat bagian dimana Rafli melamarku dan syarat yang kuberikan.

"Ternyata wajah garang nggak menjamin seorang berwatak keras ya, buktinya Rafli-Rafli yang wajahnya kaku kek parquet aja bisa bego karena cinta, hatinya melankolis banget kek hello kitty di permainkan sama Dokter setengah mateng kayak kamu, Na."

Aku mendelik, tidak terima saat Dokter Mira mengataiku mempermainkan perasaan Rafli. Tidak ada niat secuil pun untuk mempermainkan perasaannya.

"Aku cuma minta waktu buat ngeyakinin hatiku sendiri, Dok. Dia orang asing buat aku."

"Dan orang asing itu yang cinta sama kamu sekian lama." tukas Dokter Mira cepat, membuatku seketika bungkam tanpa kata mendengarkan penjelasannya yang menggebu-gebu layaknya pada seorang murid yang terlalu bebal. "Seorang laki-laki itu dinilai dari keseriusannya, Kirana. Kurang serius apa Rafli itu, dia menemui Ayahmu, meminangmu bahkan tanpa embel-embel jadi pacarku, jika kamu perempuan yang berharga dimata laki-laki ya seperti itulah rulesnya, datang langsung ke orangtua."

Aku mendesah lelah, setiap kalimat dari Dokter Mira benar-benar mengulitiku. "Tapi apa nggak terlalu cepat Dok?"

Dokter Mira langsung menggeleng, jika tadi dia menepuk bahuku dengan kekuatan super, kini jidatku yang mendapatkan toyoran maut darinya.

"Dalam jodoh, nggak ada cepat atau lambat. Buktinya, kamu pacaran sama pacarmu tujuh tahun, tapi nikahnya sama Kakakmu, kan?" heeeh, kenapa harus dua orang pengkhianat itu yang dijadikan contoh oleh Dokter Mira, melihat wajahku yang kesal membuat dia buru-buru melanjutkan, "Terlepas cara mereka yang salah karena memilih untuk tidak jujur ke kamu, itulah jodoh Kirana, tidak mengenal seberapa kamu mengenal, seburuk atau semulus apa jalannya, jodoh bukan tentang semua itu, tapi seberapa kamu yakin, dia jodoh yang Tuhan kirimkan buat kamu."

Aku angkat tangan berdebat dengan Dokter Mira, dia tidak hanya menjadi yang termuda di Rumah sakit ini di bidang spesialisnya, tapi juga seorang yang cerdas dalam pahit manisnya kehidupan.

"Kamu bilang sendirikan, ingin meyakinkan dirimu dan menyerahkan semuanya pada Tuhan dan Takdir, lalu bagaimana hasil sembahyang istiqarahmu? Sudah menjawab pertanyaanmu?"

Aku menunjukan sepenggal surat An-Najm 45.

Artinya:
Sesungguhnya Allah telah menciptakan pasangan laki-laki dan wanita.

"Setelah selesai sholat dimalam ke sepuluh, saat membuka Al-Quran, kebetulan surah ini yang kubuka, Dok."

Sekilas Dokter Mira mengangguk, dan kepalang basah aku sekalian menunjukkan satu surah lagi padanya, karena rasanya aku ingin meledak jika memikirkannya seorang diri.

"Dan beberapa hari lalu, setelah ada yang menanyakan kenapa aku nggak diantar oleh Rafli, aku mendengar surat Ar-Rum ini diputar di ruangan Dokter Wisnu."

Artinya:

Diantara tanda-tanda kebesaran Allah dia telah menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kalian cenderung serta merasa tentram kepadanya. Allah menjadikan diantara kalian rasa kasih sayang. Sungguh dalam hal ini, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang mau berfikir.

Dokter Mira terbelalak, "Sudah sejelas ini tanda-tanda yang diberikan Allah dan kamu masih ragu, Kirana?"

"Aku trauma, Mbak."

"Jika kamu masih meragukan Tuhanmu, lalu siapa yang kamu percaya? Tuhan sudah berbaik hati memperlihatkanmu semuanya, dam kamu masih seperti orang bodoh. Jangan salahkan Tuhan, jika jodohmu dialihkan pada seorang yang lebih mempercayainya."

TBC

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now