Janji ❤

6.8K 982 64
                                    

"Kamu yakin mau datang?"

Aku baru saja selesai berganti pakaian saat Ibu masuk ke dalam kamar, sedari pagi beliau dan Ayah memang memerankan peran beliau sebagai orangtua Mbak Chandra.

Sebagai orangtua yang mengasuh Mbak Chandra, Ayah memang menjalankan wasiat Pakde untuk bertanggungjawab penuh atas Mbak Chandra, termasuk menikahkan Mbak Chandra.

Disaat aku dan Rafli berlelah-lelah mengurus surat untuk pengajuan nikah, tadi pagi Ayah telah menikahkan Mbak Chandra, dan sekarang Ibu dan Ayah tengah bersiap untuk Resepsi yang akan di gelar oleh Kakak angkatku tersebut.

Rasa kecewa itu masih ada dan terasa, tapi kini bukan karena patah hati dan rasa iri karena seharusnya aku yang menempati tempat Mbak Chandra, tapi aku kecewa karena kebohongan yang mereka lakukan di belakangku.

Wajah sendu kini terlihat diwajah Ibu sekarang, membuatku dengan cepat melangkah ke beliau dan memeluknya erat. Satu hal yang tidak ingin kulakukan adalah membuat Ibu bersedih.

Tangis Ibu pecah, membuat hatiku teriris mendengar nada sarat kepiluan tersebut, inikah rasanya menjadi orangtua, merasakan yang berkali lipat saat ada orang yang menyakiti buah hatinya.

"Harusnya itu tempatmu, Kirana."

Aku menarik nafas panjang saat mendengar suara Ibu, sedikit hatiku masih tercubit akan rasa sakit, tapi meratapi dan mengingatnya tidak akan merubah keadaan.

"Harusnya kamu yang hari ini berbahagia."

Aku mengusap punggung Ibu, mencoba menenangkan seorang yang paling berarti di hidupku ini.

"Ibu, bukan jodoh Bu. Seharusnya Ibu senang, Putri Ibu ini tidak menikah dengan seorang seperti Raka, yang berubah pendirian hanya dalam hitungan menit."

Aku melepaskan pelukan Ibu, mengusap air mata Ibu dan berusaha tersenyum, aku ingin Ibu melihatku jika semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu Ibu khawatirkan dariku.

Semua kekecewaan yang sempat kudapatkan kini menempaku menjadi lebih baik, lebih kuat dan tidak menggantungkan harapanku hanya pada manusia, dan mendekatkanku pada Allah.

"Kirana."

Aku menggeleng, tidak ingin lagi mendengar Ibu menangis karena aku dan Raka telah benar-benar berakhir.

"Kirana dan Raka sudah berakhir, Bu. Dan sekarang Putri Ibu ini sudah bersama seorang yang kini menunggu kita di balik pintu itu. Rafli mungkin masih orang baru untuk kita, Bu. Tapi Rafli adalah orang yang menjadi jawaban atas sholat istiqarah Rana, entah bagaimana kedepannya, doakan saja semua hal yang terbaik buat anak Ibu ini."

Kita tidak tahu kedepannya, tapi untuk sekarang aku yakin ini yang terbaik untukku.

Ibu menciumku, ungkapan sayang yang lebih menenangkanku daripada hal apapun yang ada di dunia ini, sebelum Ibu keluar, meninggalkanku untuk kembali bersiap-siap.

Ya, datang ke Pesta Pernikahan sebagai tamu dari mantan adalah hal yang tidak pernah kubayangkan.

Kuraih wedgesku, merasa sudah cukup puas dengan penampilanku sekarang ini, aku tidak ingin datang dengan wajah frustasi, apalagi dengan adegan menangis seperti yang sedang viral di Sosmed, aku ingin datang dengan elegan dan terhormat layaknya tamu undangan lainnya, terlepas dari masalah pribadi yang terjadi diantara kami.

"Rana, mas_"

Saat aku membuka pintu, wajah terkejut Rafli tepat ada di depan pintu dengan tangan terangkat bersiap untuk mengetuk pintu.

Nasib baik kepalan tangan besar itu tidak menghantam dahiku, jika sampai terjadi, mungkin kepalaku akan benjol.

Rafli bengong, benar-benar nyaris tidak berkedip saat menatapku, entah karena dia pangling akan makeupku, atau karena sesuatu yang salah di penampilanku sekarang ini.

Dengan gemas kuayunkan wedgesku didepannya, dan berhasil, mata tajam yang membuat nyali orang menciut hanya karena tatapan datarnya itu mengerjap, berusaha mengembalikan kesadarannya.

Sungguh lucu Rafli sekarang ini, mau tidak mau melihat wajah konyol Rafli yang sedang salah tingkah membuatku terkikik geli.

Jika ada seorang anggotanya yang melihat wajah cengo Rafli tadi, sudah pasti wibawa dan aura killernya akan hilang.

Rafli berdeham, membuang rasa groginya sebelum akhirnya kalimat bernada pujian terlontar darinya.

"Kamu cantik."

Hanya dua kata, dan bukan kalimat istimewa tapi mampu membuat pipiku bersemu merah. Dulu bersama Raka, selalu ada banyak hal yang di kritiknya dari penampilanku, bermake-up seperti sekarang ini sudah pasti akan membuatku di katai menor dan berlebihan.

Bukan hanya sampai disitu, dan sekarang Rafli meraih wedges yang ada di tanganku, dan hal yang tidak kuduga, laki-laki yang tampan gagah dalam balutan kemeja batik hijau tosca yang serasi dengan kain batikku ini menunduk, memintaku memegang bahunya untuk memakaikan wedges yang cukup tinggi itu ke kakiku dengan begitu telaten, seolah tali yang mengikat di kedua sisi tumit tersebut akan melukaiku.

Hatiku menghangat, merasa begitu istimewa untuk seorang Rafli Ilyasa. Semua perlakuannya perlahan menggeser semua hal tentang Raka, dengan perlahan namun pasti.

Mata kami bertemu, tatapan matanya kini seolah menjadi candu untukku, memperlihatkan betapa dia menginginkanku, memperlihatkan betapa besar cinta yang dia milikku untukku.

"Kamu tahu, pesta Raka adalah hal terakhir yang akan kudatangi." Rafli meraih tanganku, memintaku untuk melingkarkankanya ke lengannya, senyuman hangatnya tidak lepas dari wajahnya.

"Tapi denganmu, aku yakin hal burukpun akan menjadi baik-baik saja."

Aku menuruni tangga dengannya, meniti satu persatu tangga dengan langkah yang bersamaan, "Seharusnya aku yang ngomong kayak gitu, Rafli. Aku yang akan menghadiri pesta pernikahan Mantanku dan juga Kakakku sendiri."

Hampir saja kami akan masuk kedalam mobil saat Rafli menahan lenganku, memintaku untuk sejenak mendengarkan apa yang akan dia sampaikan.

"Jika ada satu hal yang kamu dengar nantinya di Pesta Raka, tolong. Pegang janjimu buat nggak ninggalin aku."

TBC

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang