Yang sebenarnya

7.2K 926 42
                                    

"Tuhan itu unik ya Na dalam memberikan jodoh untuk umatnya, rasanya baru kemarin Ibu syok waktu lamaran Raka ke Chandra, dan hari ini justru Ibu datang kesini untuk menerima lamaran seseorang untukmu."

Ibu menyusut air matanya, kenangan yang mengejutkan seluruh penghuni rumah tersebut memang rasanya sulit untuk terlupakan begitu saja.

Tapi aku ingin, hal yang sempat membuat bersedih kedua orangtuaku itu hal yang terakhir kalinya untuk beliau berdua.

"Semoga saja ini memang yang terbaik, Bu. Teman Kirana pernah bilang, jika jodoh bukan tentang seberapa kita saling mengenal, tapi seberapa kita yakin akan pilihan Tuhan, insyaallah, Kirana yakin dengan apa yang Allah pilihkan buat Rana."

Ibu mengusap rambutku, kebahagiaan tergambar jelas di wajah beliau, masih kuingat semalam saat Ayah meminta Ibu untuk datang ke Jakarta karena malam ini orangtua Rafli akan datang kemari dan melamarku.

Tidak percaya dan juga kaget, bahkan Ibu justru mencecarku dengan pertanyaan apa aku 'kecelakaan' hingga tiba-tiba ada yang melamarku.

Niat awal Ibu untuk mendampratku karena berpikir anaknya menjadi perempuan tidak benar karena patah hati langsung lenyap saat Ayah menjelaskan bagaimana hal yang sebenarnya terjadi.

Terkejut dan sulit untuk percaya, sama seperti saat pertama kali aku mendapati Rafli melamarku.

"Ibu, tamunya sudah datang, Bu."

Suara dari Ayah yang memberitahukan kedatangan keluarga Rafli menghentikan acara melankolis kami berdua.

Ibu tersenyum senang, sembari merapikan rambutku yang kini kukepang sederhana menyamping, "Ayo, Na. Ibu nggak sabar mau ketemu sama calon Mantu Ibu."

Dengan di gandeng Ibu, aku keluar dari kamar, menuju ruang keluarga dimana Keluarga Rafli menunggu, setelah insiden makan siang dan tangisan Putri sang Komandan, hanya selang dua hari Rafli benar-benar menepati ucapannya untuk membawa kedua orangtuanya ke rumah.

Apa lagi yang harus kuragukan dari kesungguhan seorang Rafli Ilyasa?

Hal pertama yang kulihat saat memasuki ruang keluarga adalah wajah Mamanya Rafli, Tante Amara yang memandangku lekat.

Terkahir kalinya aku bertemu dengan beliau dengan tidak baik, menegurku dengan kesal atas pilihan yang kuambil untuk meyakinkan diriku atas semua keraguanku, dan sekarang aku was-was Tante Amara masih menyimpan kekesalannya padaku.

Dengan jantung yang berdebar tidak karuan aku mendekati beliau, tanganku bahkan sudah dingin dan bergetar saat meraih tangan beliau untuk memberi salam.

"Tante!"

"Saya bukan Tantemu!" aku langsung meringis ngeri mendengar suara Tante Amara, wajah kesalnya membuatku merasa jika beliau lebih mengerikan dari pada Dosen pembimbing. Terlebih saat beliau mengibaskan tangannya seakan ingin melemparku, suara keras beliau padaku sontak membuat seluruh orang yang ada di ruang keluarga ini menoleh, termasuk Rafli yang baru saja datang.

Wajahnya sekarang bahkan tampak keheranan karena aura dingin yang mendadak keluar. Tante Amara benar-benar marah padaku.

Aku menunduk, menatap jari kakiku yang berkutek nude karena tidak berani menatap seorang yang telah mengasuh dan menggantikan peran orang tua bagi laki-laki yang akan menikahiku.

Hingga akhirnya, Tante Amara mendekat, menyentuh daguku agar menatap beliau, jika waktu bisa diputar aku tidak akan pernah melakukan kesalahan yang membuat beliau kesal padaku, jika tahu apa yang kukatakan akan menyakiti beliau yang menjadi ibu bagi Rafli, aku akan lebih berhati-hati dalam memilih kata.

Not A Choice, Letnan. Tersedia Ebookحيث تعيش القصص. اكتشف الآن