Maaf atas egoisku

7.5K 991 54
                                    

"Menurutmu, Ibu nerima aku nggak sih, Yang?"

Yang, Sayang? Astaga, bahkan aku masih tidak habis pikir seorang garang seperti Rafli bisa memanggilku dengan panggilan Sayang tanpa risih saat dia baru saja turun dari Pesawat.

Bandara dan Rafli, satu hal yang tidak bisa dipisahkan, ingatan akan lamarannya saat aku di koridor Bandara seperti sekarang ini rasanya tidak akan bisa kulupakan hingga kapanpun.

Pertanyaan yang terlontar darinya saat kita menyusuri koridor Bandara membuat beberapa orang menoleh, mungkin aneh bagi yang mendengarnya, seorang dengan seragam loreng press body, berwajah gahar, dan bertubuh tegap justru tanpa sungkan memperdengarkan panggilan yang begitu bucin.

Sejak beberapa hari yang lalu, memang pertanyaan soal bagaimana tanggapan Ibu tentang statusnya yang rumit tidak henti dia tanyakan.

Tersirat jelas jika dia begitu khawatir akan penilaian Ibu. Sebenarnya aku juga penasaran akan siapa orangtua Rafli, tapi kebencian, kemarahan, dan kekecewaan yang terlihat diwajahnya saat menceritakan bagaimana Ayah kandungnya membuat kami sekeluarga menghormati keputusannya.

Hingga pada akhirnya Rafli siap mengatakan apa yang selama ini menjadi sumber kesakitannya tanpa harus ada tekanan. Baik Ayah maupun Ibu sepakat untuk tidak akan membahasnya.

Terlebih Om Budi dan Tante Amara adalah sosok yang melebihi orangtua bagi Rafli. Tidak mungkin bukan seorang Kepala BIN akan mempermainkan kami.

Aku berhenti melangkah, agak kesal karena pertanyaan yang sudah Rafli dengar jawabannya masih diulang lagi.

Wajah Rafli langsung nyengir sadar akan kekesalanku, "Kan sudah Ibu bilang Rafli, selama kamu sayang sama aku, dan nggak akan lakuin hal buruk yang sudah di lakukan sama seperti Ayah kandungmu, Ibu nggak akan mempersalahkan siapa kamu, paham?"

Layaknya anak kecil yang baru saja ditegur oleh Ibunya kini Rafli mengangguk cepat, dan detik selanjutnya, tangan besar itu beralih merangkul bahuku, membawaku berjalan menuju pintu keluar Bandara Adi Soemarmo.

Ya, dulu aku meninggalkan Kota ini, dan sekarang aku kembali lagi, bukan untuk kembali pada masalaluku.

Tapi untuk mengurus segala hal untuk syarat pengajuan nikah yang membuatku pusing seketika saking banyaknya.

Disaat aku akan mengurus segalanya tentang pernikahanku, aku kembali ke Kota ini tepat di dua hari sebelum Resepsi pernikahan Raka dan Mbak Chandra.

Hatiku gamang, antara datang ke Pesta Pernikahan yang pernah menjadi mimpiku, atau justru menganggapnya seolah aku tidak pernah mendapatkan undangan tersebut.

"Hei, apa yang kamu pikirkan?"

Suara pertanyaan dari Rafli menyentakku dari lamunan, lelaki bertubuh tegap itu kelewat paham akan kegelisahan yang kurasakan. Dan ternyata aku baru sadar, pikiran yang membayangiku sejak semalam tentang pernikahan Mbak Chandra dan Raka itu sudah membuatku gelisah.

Rafli menatapku lekat, menunggu jawaban dariku, mengelak dan mengatakan tidak ada yang kupikirkan bukanlah hal yang tepat, karena justru akan membuatnya semakin mencecarku.

Kalian tahu, selain gila dalam bersikap saat denganku, Rafli adalah seorang seperti perpaduan cenayang dan juga wartawan.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menjawab hal yang sebenarnya, pergolakan batin yang masih menyimpan ragu kusingkirkan, Rafli, laki-laki yang ada di depanku ini bukan orang lain.

Dia akan menjadi Suamiku, seorang yang Allah kirimkan untuk menjadi jodohku, tempatku berbagi pikiran, dan berbagi suka serta duka.

Jika tidak mulai dari sekarang aku belajar mempercayainya, lalu untuk apa aku menerima tawarannya melangkah bersama ke hubungan yang lebih serius.

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now