Orang Bodoh itu Aku

7.7K 881 52
                                    

"Iya Yah, ini Rana sudah selesai urus berkas di Rumah Sakit."

Kubalas pesan singkat Ayah yang menanyakan apakah urusanku di Rumah Sakit sudah selesai belum.

Rumah Sakit Permata, Rumah Sakit yang kuharapkan akan menjadi batu pijakan pertamaku dalam meraih mimpi di Kota yang baru untukku ini.

Layaknya orang tua yang akan melepas anaknya pergi untuk pertama kali, pagi hari tadi Ibu sudah sibuk menelponku, mengingatkanku akan ini dan itu, membuatku yang baru dua hari berada di Jakarta langsung rindu akan rumah.

Begitupun dengan Ayah, saking khawatirnya beliau denganku, pesan dan wanti-wanti beliau agar aku tidak mengemudi sendirian di Jakarta yang sarat akan kemacetan sampai bosan kudengar.

Kupikir seorang Arsitek seperti Ayah hanya berdiri santai mengawasi pembangunan, nyatanya Ayah pagi buta harus pergi ke Proyek, dan membuat beliau tidak bisa mengantarku.

"Jangan kemana-mana ya, Na. Biar dijemput."

Melongok pesan Ayah akhirnya membuatku berakhir di Coffeshop dekat Rumah Sakit, sedari dulu, semua rasa penat yang kurasakan langsung menguap hilang saat mencium aroma kuat harumnya kopi yang kini berlomba-lomba memenuhi hidungku.

I love it. Dan kini, awal hariku yang sempurna di Kota Jakarta semakin lengkap saat secangkir kopi latte dan cheesecake tersaji di atas meja.

Sayangnya, suapan pertama cake yang begitu menggiurkan itu harus terganggu saat Anisa mengirimkan sebuah video padaku.

Hampir saja aku tersedak saat melihat video dimana akulah sang pemeran utama, tampak syok dan pucat saat Letnan Rafli menyematkan cincin di tanganku. Sungguh video dengan backsound yang begitu so sweet ini berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Seolah tampak begitu manis dan romantis padahal sebenarnya aku takut setengah mati akan ulah gilanya.

"Muka lo! Kemarin lo nangisin Raka kek mau mati, tapi baru sampai di Jakarta udah dilamar orang! Lo bikin satu komplotan geger tahu nggak, nasib baik cuma gue yang punya nomor lo, kalo nggak, udah pasti lo di teror. Hilang satu Letnan, muncul satu lagi. "

Aku meringis, membacanya saja sudah membuatku terengah-engah kehilangan nafas, jika Anisa ada di depanku, sudah pasti Bu Dokter tersebut akan mencecarku dengan gayanya yang heboh.

Kepalaku terasa begitu pening, jika Anisa saja yang jarang memperhatikan gosip saja tahu, apalagi teman-temanku yang lainnya.
Hanya dalam waktu sekejap, hidup tenangku sudah berubah menjadi penuh drama.

Belum lagi dengan pertanyaan Ayah kemarin yang tidak juga kujawab, Bagaimana jika seandainya Rafli melamarmu, Rana. Saat Ayah menceritakan bahwa kamu dan Raka sudah berakhir, Rafli bilang dia ingin segera melamarmu.

Jika aku langsung menjawab tidak, bagaimana mungkin aku akan menerima lamaran dari seorang yang tidak kukenal, sudah pasti jawabanku akan membuat Ayah kecewa.

Astaga, Letnan Rafli, kenapa kamu harus dekat-dekat dengan Ayah sih, dan meperkeruh sesuatu yang sudah keruh.

Tapi belum sempat aku membalas pesan Anisa, seorang dengan seragam hijau dinas hariannya yang baru saja turun dari mobil langsung datang dan berjalan kearahku, mendadak aku membeku, berharap seorang yang kemarin sudah berbuat gila dan di puji-puji oleh Ayah tidak datang menghampiriku, sayangnya harapanku harus pupus, laki-laki yang sejak keluar dari mobilnya tadi sudah menyita perhatian para perempuan itu kini duduk tanpa permisi di depanku.

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now