Jangan Khawatir, Sayang!

7K 932 41
                                    

"Hah, Calon Istri?"

"Calon Istri?

"Calon Istrinya siapa?"

Tiga jawaban terdengar menanggapi apa yang dikatakan Rafli, dari ketiga jawaban tersebut, seorang yang ada di sebelah Rafli lah yang paling tercengang.

Perempuan cantik yang mungkin dua tahun lebih muda dariku, bahkan aku baru menyadari jika Rafli tidak datang sendirian.

Untuk beberapa saat dia menatapku, menilaiku dari atas hingga bawah berulangkali, sebelum akhirnya dia bergidik dan mengalihkan tatapannya pada Rafli.

What? Dia menatapku dengan begitu jijik, memangnya ada yang salah dengan penampilanku sekarang ini, kutilik lagi pakaian yang kukenakan, midi dress polos dan juga jaket jeans, pakaian yang sering ku gunakan saat ke Rumah Sakit, lalu kenapa perempuan asing ini melihatku seperti aku ini adalah sesuatu yang tidak layak untuk berada disini?

Benar-benar membuat siapapun akan tersinggung dengan tatapannya. Belum lagi sekarang dia mulai tampak merajuk.

"Mas Rafli, yang benar saja. Jangan karena ngehindarin Putri, Mas Rafli ngadi-ngadi bohong, ya!"

Aku dan semua yang ada disini terdiam, menonton pertunjukkan yang ada di depanku, si perempuan yang bernama Putri itu sekarang semakin kesal saat Rafli dengan risih melepaskan tangan yang membelit lengannya.

"Saya sudah bilang dari awal, Putri. Saya sudah punya tunangan, calon Istri. Ya Kirana ini calon Istri saya."

Putri merajuk, nyaris menangis saat Rafli ingin menghampiriku yang berada di dekat seorang yang baru saja di panggil Mbak Sandy.

Dengan kuat ditahannya lengan Rafli, membuat Rafli menggeram kesal, sungguh wajah yang membuatku ingin tertawa dibuatnya, aaaahhh, bisa kuduga perempuan merepotkan yang menyukai Rafli ini adalah salah satu anak dari para Perwira disini, jika tidak sudah pasti Rafli akan mengibaskannya hingga Pulau Timor bersama dengan para Komodo.

"Nggak, Putri nggak percaya sama Mas Rafli. Mana ada, katanya idaman Mas Rafli itu Dokter, Putri susah payah masuk kedokteran buat Mas Rafli loh."

Suara parau terdengar, nyaris menangis sekarang ini yang membuat Rafli semakin kelimpungan, ternyata benar ya yang dikatakan Yoseph, Rafli terlalu acuh pada pengagumnya di Batalyon ini.

Perempuan disampingku bersingsut, berbisik pelan agar tidak terdengar oleh Sang Putri tersebut, "Te, itu anaknya Wadanyon, dari awal Om Rafli datang, dia memang sudah naksir, sabar ya!"

Aku mengangguk ditengah rasa terkejutku aka, tidak bisa berkata apa-apa lagi menanggapi Putri dan Rafli. Hal klasik antara Putri Komandan yang jatuh hati dengan para Perwira muda.

"Mas Rafli selama ini perhatian sama Putri, sering antar jemput Putri, Putri kira perhatian Mas Rafli berbeda. Lagipula, mana mungkin selera Mas Rafli sekampung dia."

Astaga, kenapa menjadi sedrama ini sih? Dia mengataiku kampungan seolah aku ini tidak ada di depan matanya. Menyebalkan sekali anak kecil ini, attitudenya sebagai calon Dokter harus dipertanyakan. Bukan hanya aku yang mengerang kesal, tapi juga Rafli, hingga akhirnya kalimat ketus terlontar darinya.

"Saya baik bukan hanya sama kamu, tapi dengan siapapun yang baik dengan saya, jika saya ada kalanya menjemputmu, itu karena permintaan Ayahmu, apa seorang bawahan seperti saya akan menolak permintaan dari para atasan jika hanya sekedar menjemput Putri mereka?"

"..............."

"Saya sebenarnya tidak mau menyakiti kamu, tapi tolong, hargai saya dan pasangan saya, seorang yang kamu cemooh dengan kalimatmu tadi itu adalah perempuan yang saya cintai."

"Mas Rafli, Putri bakalan bilang ke Ayah kalo Mas Rafli sudah sakitin Putri."

Yoseph, aku, dan juga Mbak Sandy tercengang mendengar ancaman kekanakan yang dikeluarkan seorang yang menyandang status sebagai mahasiswa kedokteran.

Ingin rasanya aku menceramahi perempuan cantik ini, sayangnya Raflipun sudah hilang kesabaran.

"Jika kamu mau mengadukan hal ini pada Ayahmu silahkan, kamu lihat cincin yang ada di jari manisnya?" Rafli kembali menunjukku dengan wajahnya yang kepalang kesal, jika di dalam kartun, mungkin saja kepalanya sudah keluar asap. "Itu adalah tanda jika aku mengikatnya, tidak ada yang bisa memisahkan kami, terlebih itu adalah Ayahmu. Ayahmu adalah pemimpin disini, tapi beliau tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengatur dengan siapa aku hidup. Jadi tolong, jangan ikut campur dengan hidup orang lain terlalu jauh."

Wajah Putri tampak pias, rasanya tidak tega melihatnya nyaris menangis, tapi melihat Rafli yang kini terengah-engah mengatur nafas dan berbicara sehalus mungkin, aku tahu Rafli sudah berusaha untuk berbicara dengan baik menanggapi kekeraskepalaan Putri ini.

Rafli beralih menatapku, seketika tatapannya berubah menjadi hangat membuatku mau tidak mau tersenyum.

"Kamu tidak bilang mau menemuiku?"

Aku mengangkat kotak makan siang yang ada di tanganku, memperlihatkan padanya yang membuat senyum Rafli mengembang, satu hal yang ternyata sangat aneh untuk Mbak Sandy ini.

Seolah tidak terjadi apa-apa Rafli menghampiriku, meraih tanganku dan menarikku menjauh dari tempatku sekarang berdiri.

Aku melihat ke belakang, dan mendapati Putri kini sudah berlari dengan tangis yang bercucuran dan juga Mbak Sandy yang tampak mencecar Yoseph akan apa yang baru saja di lihatnya.

Dari samping, aku bisa melihat sosok tegas yang tengah menggenggam tanganku ini, kata-kata kerasnya tadi mungkin saja menyakiti Putri, tapi dibalik semua itu, hatiku menghangat, merasa jika Rafli begitu menghargaiku, menjadi seorang yang akan menjadi tameng terdepanku jika ada yang menyakitiku.

Dan yang membuat satu poin lebih untuknya, walaupun Putri Komandannya sangat menyukainya, Rafli dengan tegas menolak, hal yang jarang dilakukan para Prajurit kesayangan yang diincar sebagai calon Mantu.

Kadang karena tidak ingin mendapatkan masalah, atau karena rasa hormat serta sungkan menolak membuat para prajurit itu terjebak dalam perjodohan yang sebenrnya juga tidak mereka diinginkan.

"Rafli!" Langkah tegap itu terhenti, sebelah alisnya terangkat menantiku untuk berbicara, kepergian Putri dengan tangisnya membuatku gelisah, aku tidak ingin Rafli benar-benar terkena masalah karena hubungan kami yang bahkan baru dimulai.

Mengerti akan kegelisahanku membuat Rafli menunduk, menatapku lekat seolah membaca isi kepalaku. Sudut bibir laki-laki tampan nan datar ini kini terangkat, membentuk senyuman yang hanya diperuntukan untukku.

"Katakan, apa yang membuat calon Nyonya Rafli ini gelisah?"

Pipiku memerah, bahkan aku merasa bibirku terasa kaku saking seringnya aku tersenyum karenanya. Tidak ingin larut dalam pesona mematikan seorang Rafli aku beringsut mundur.

"Bagaimana kalo Putri-Putri itu tadi beneran ngadu ke Ayahnya? Kamu mungkin saja kena masalah Rafli!"

Senyuman Rafli semakin lebar saat mendengar pertanyaanku, kalian tahu bagaimana wajahnya sekarang, definisi laki-laki gila yang justru tampak semakin memikat.

"Kamu ngekhawatirin aku?"

Aku mengangguk, tentu saja aku khawatir dengannya, merintis karier militer bukan hal yang mudah, kadang ada beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab menjegal satu prestasi seseorang hanya karena masalah pribadi. Dan aku tidak ingin hal tersebut terjadi pada laki-laki di depanku sekarang ini.

Rafli mengusap rambutku, satu gerakan yang mengingatkanku akan Ayah. Waktu seolah berhenti berputar, hanya menyisakan aku dan Rafli di jalanan Batalyon.

"Jangan khawatir, apapun yang terjadi, nggak akan menghalangi aku buat secepatnya lamar kamu. Katakan pada Ayah dan Ibumu, Aku akan membawa Mama dan Papaku datang untuk menentukan hari pernikahan kita!"

".............."

"Jadi khawatirkan dirimu sendiri, Sayang. Kamu akan kubuat sibuk dengan pengurusan berkas pengajuan nikah kita."

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookWhere stories live. Discover now