Kamu Siap

6.9K 987 77
                                    

"Jika ada satu hal yang kamu dengar nantinya di Pesta Raka, tolong. Pegang janjimu buat nggak ninggalin aku."

Kalimat Rafli tadi membayangiku, membuat perjalanan dari rumah menuju gedung Resepsi menjadi terasa begitu cepat karena kini hatiku menjadi was-was.

Aku merasa apapun yang menjadi alasan Rafli begitu membenci Raka akan kuketahui saat di Pesta nanti. Aku gelisah, membayangkan jika apa yang menjadi sumber kebencian itu berhubungan denganku.

Sungguh aku tidak akan bisa menerima jika apa yang menjadi alasan Rafli begitu kekeuh menginginkanku adalah salah satu bagian dari kebenciannya pada Raka.

Telapak tanganku semakin dingin karena grogi, seiring dengan semakin dekatnya kami dengan gedung milik Presiden RI yang akan menjadi tempat pernikahan itu di helat.

Bukan hanya aku yang merasa tegang, Rafli juga tampak tidak nyaman. Tidak tahan melihatnya yang gelisah. Kuraih tangannya yang ada dibalik kemudi.

Membuatnya kini menatapku dengan pandangan bertanya. "Raf, kalo kamu ngerasa nggak nyaman buat datang, kita nggak usah kesana ya."
Tapi Rafli menggeleng, dia justru mengeratkan genggaman tanganku dan memberikan kecupan ringan di punggung tanganku.

"Aku bakal datang nemenin kamu. Enak saja tuh manusia laknat ngerasa diatas angin kalo lihat kamu datang sendirian."

Aku terkikik, geli sendiri dengan cara berpikir Rafli, campuran antara ketidaksukaanya pada Raka, dan sikap posesifnya padaku yang disambut Rafli dengan wajah manyun.

Hingga akhirnya kami sampai di Sabuga, gedung milik keluarga Presiden yang sudah di sulap sedemikian rupa. Lampu-lampu yang di tata mulai dari parkiran menerangi banyak foto Mbak Chandra dan Raka.
Aura mewah dan juga berkelas begitu terasa saat kami baru turun dari mobil, seolah menunjukkan pada setiap tamu yang datang bagaimana mewahnya sang Tuan Rumah menghelat pestanya.

Aaaahh, pantas saja Mbak Chandra lupa akan aku sebagai adiknya, pesta yang diberikan Raka adalah wedding dream bagi perempuan manapun.

"Ingat Kirana, Ayah dan Ibumu tidak membesarkan serta mendidikmu menjadi seorang yang buruk dan iri hati."

Aku meraih lengan Rafli sembari merapalkan semua pesan dan nasihan Ayah agar aku ingat jika aku berbeda dengan dua orang yang akan kutemuo, kupegang lengan Rafli dengan erat menjadikan lengan kokoh tersebut sebagai topangan untukku melangkah masuk menemui masa laluku.

Mungkin ini yang terakhir kalinya aku mau menemui mereka.
Aku ingin menunjukkan pada dunia, jika aku bukan sosok menyedihkan yang kehilangan dunia dan bahagiaku karena ditinggalkan oleh Raka.

"Aku nggak terlihat menyedihkan, kan?" tanyaku saat beberapa teman Raka melihatku datang. Mungkin di bayangan mereka, setelah semua hal romantis yang kini menjadi kenangan antara aku dan Raka, mereka membayangkan aku sedang menangis keras di kamarku meratapi nasibku yang burukku ditinggal menikah.
Rafli merapikan anak rambutku yang berantakan dari sanggulku, sungguh bertemu dengannya adalah satu keberuntungan ditengah kesedihan yang menimpaku, hanya dengan tatapannya seolah dia mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.

"Bukan, kamu nggak terlihat menyedihkan. Tapi kamu tampak luar biasa, jadi ayo masuk dan tunjukkan pada semua orang betapa cantiknya calon Nyonya Letda Rafli Ilyasa ini."

Ya, aku turut mengulas senyum membalasnya, Rafli benar, aku datang bukan sebagai seorang mantan kekasih bagi Raka, tapi aku datang sebagai adik dari mempelai perempuan, dan aku tidak sendirian.
Aku datang bersama dengan calon suamiku.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

"Loh Mbak Kirana datang juga." Arum, sepupu dari Raka yang ada saat aku menuliskan nama di buku tamu menyapaku.

Raut terkejut tergambar di wajahnya sekarang ini melihatku datang dan bahkan membalas sapaannya dengan senyuman, seolah pernikahan yang aku hadiri bukan satu hal yang melukaiku.

"Ya, seperti yang kamu lihat."
Arum meremas tangannya tampak salah tingkah dan tidak nyaman sendiri melihat kehadiranku, seperti yang lainnya mungkin dia mengira jika aku tidak akan datang, ataupun jika datang dia akan melihatku bersimbah air mata.

"Mbak Kirana datang sendirian?" ucapnya setelah lama terdiam.
Aku menggeleng, berbalik dan mencoba melihat kearah Rafli yang tadi sempat pamit untuk mengangkat telepon dari Papanya, dan tepat saat itu juga Rafli menyudahi teleponnya.
Senyuman simpul khas dirinya kini tersungging di bibirnya saat menghampiriku, kini tanpa diminta aku langsung meraih tangannya, memeluk lengannya erat.

"Mas Rafli!"

Terkejut, tentu saja.
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan dari Arum tadi, tapi gadis akhir SMA ini justru sudah menyapa Rafli dengan wajah syoknya.

Syok seperti melihat hantu saat Rafli kini membalas sapaannya.

"Hei, Rum. Sudah ketemu calon istriku, seharusnya dengan video yang dengan cepat menyebar kamu nggak harus seterkejut sekarang ini."

Mendadak Arum menjadi gagu, tangannya bergerak kesana-kemari antara aku dan Rafli seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Niat hatiku ingin mencecar bagaimana Rafli bisa mengenal Arum bahkan bisa membuat Arum seperti orang bodoh harus kutunda karena Rafli sudah menarikku kedalam.
Banyak wajah memperhatikanku dan Rafli, rasanya sudah hal yang wajar jika kedatangan mantan di Pesta Pernikahan adalah sesuatu yang mengundang perhatian selain mempelainya sendiri. Apalagi jika adegan menangis, beeeehhh, hal yang dinantikan oleh Hengpon Jadul ala Lambe turah dan TikTok.

"Kamu kenal sama Arum tadi?" tanyaku penasaran, bukan hanya karena ingin tahu, tapi karena aku juga ingin mengabaikan tatapan dari banyak mata.

Rafli yang baru saja menjawab sapaan dari salah seorang yang ternyata merupakan perwira juga menoleh padaku, seringai miring terlihat saat hendak menjawab.

"Sedikit aku mengenalnya."

Singkat, dan terasa ada yang disembunyikan oleh Rafli, tapi tidak cukup hanya disitu, satu gerombol para Letnan sudah menghampiriku dan Rafli. Dan beberapa yang mengenaliku sebagai kekasih Rakapun cukup terkejut.

"Fli!!"

"Rafli!"

"Kirana lo juga datang?"

"Kok lo bisa sama Kirana, sih?"

"Kalian kok datang berdua."

"Kirain video kemarin cuma ala-ala. Beneran toh ternyata."

"Beneran lamaran kalian."

Wajah pucatku karena pertanyaan kenapa aku datang kesini menghilang saat Rafli mengangkat tanganku, memamerkan jari manisku yang terpasang cincin couple dengannya.

Cincin pertunangan kami.
Senyuman bangga dan sarat bahagia Rafli terlihat saat menatapku, menjawab pertanyaan dari Para Perwira muda yang menjadi pusat perhatian.

"Karena adik dari mempelai perempuan ini adalah calon Istriku." Rafli menepuk Adrian, seorang yang paling ternganga akan apa yang dikatakan oleh Rafli, "Kalian nggak usah kaget, Raka saja tiba-tiba nikah sama Kakaknya Kirana, apa anehnya sama gue?"

Mendengar nada sarkas dari Rafli barusan membuat dari mereka langsung tertawa, sebelum akhirnya tertawa dan memberi selamat kepada kami.

Adrian mendekat padaku, dari beberapa teman Raka, dia termasuk yang cukup akrab denganku, tidak segan untuk mengajakku berbicara jika kami berkumpul.

"Selamat ya, Kirana. Walaupun si Rafli memang covernya nyebelin dan agak gila tapi dia pribadi yang baik." tatapannya begitu tulus, benar-benar ucapan selamat bukan hanya sekedar simpati. "Gue lega lihat lo baik-baik saja."

Aku mengangguk, mengerti dengan benar apa yang dimaksudnya.
Bukan hanya Adrian, tapi juga yang lainnya hingga akhirnya kami larut dalam perbincangan tanpa canggung.

"Ayo Boysh, kalian nggak mau ngasih selamat buat mempelainya?"
Rafli menggenggam tanganku erat, memperhatikan yang lainnya yang mulai berjalan menunggu antrian pada sang Pengantin yang sedari tadi tidak ingin kulihat.

"Kamu siap?"

TBC

Not A Choice, Letnan. Tersedia EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang