Chapter 17

2K 299 17
                                    


Guys, motorku mati total, makanya tadi harus diangkut gitu. Dibawa ke bengkel milik temannya si duren. Dan sekarang disinilah aku, duduk di sebelah si duren. Canggung sih, tapi ya mau gimana lagi daripada naik ojol atau taksi online malem-malem gini. Sekali-kali naik mobil mewah, supirnya mahal dong ini mah, abis yang nyupirin dokter ganteng.

"Kok ke sini?" tanyaku heran saat mobil si duren berbelok ke sebuah warung tenda pecel lele.

"Saya belum makan. Nemenin kamu bikin saya laper," katanya. omongannya nyebelin, kayak biasanya. "Tadi saya udah nemenin kamu makan, sekarang giliran kamu yang temenin saya makan," katanya sambil melepas savety belt yang membelit perut ratanya. Jadi penasaran, perutnya kotak-kotak gak ya?

Hentikan Eijaz!

"Ehm, anu, ehm, saya gak makan malam," kataku terbata.

Ampun!

Kok susah bener sih gak gugup depan cowok cakep.

"Diet?" aku diam tak menjawab. "Gak usah diet, apalagi kalau dietnya malah bikin kamu sakit," katanya. "Percaya deh sama saya masih banyak kok laki-laki yang bisa terima perempuan apa adanya, kayak saya ini,"

"Hah? Maksudnya?" Tanyaku heran saat satu pernyataan meluncur dari mulutnya.

Maksudnya apa coba?

Eh, bukanya menjawab dia malah terkekeh. Sialan!

"Saya becanda kok! Udah ayo turun, temenin saya makan kalau memang kamu gak makan," tanpa menungguku dia langsung keluar dari mobil miliknya. Tanpa repot-repot menungguku si duren udah duduk aja tuh di salah satu kursi dan mengobrol dengan mas-mas tukang pecel lele.

Daripada bengong nungguin dia makan, ya udah turun aja deh. Nemenin dia makan. Itung-itung latihan nemenin suami makan malam-malam gini.

Halu!

Aku menghampiri si duren, lalu duduk di sampingnya. Dia terlihat melirikku sekilas lalu kembali fokus pada makanan yang sudah tersedia di hadapannya.

Hih! Menyebalkan!

"Kirain mau diem di mobil aja!" dan aku hanya bisa mencebik saja.

"Kalau ngomong kayaknya gak bisa ya bikin adem dikit ke hati orang," kataku ketus membuat dia menoleh ke arahku, hanya sekilas dia lalu kembali fokus pada makannya.

"Loh, saya kan ngiranya kamu gak mau nemenin saya makan," lagi-lagi aku hanya mencebik saja sambil memerhatikannya makan dengan lahap. Beneran laper nih lakik satu!

"Kalau mau pesen aja, saya yang traktir, gak usah liatin saya," dan perkataannya sukses membuat darahku naik sampai ubun-ubun. Hingga tanpa terasa aku berdecak kesal.

"Biarpun saya Cuma mahasiswa yang nyambi jadi penyanyi kawinan, tapi saya masih mampu buat bayar makanan saya sendiri, gak usah sombong!" kataku ketus. "Mas," aku memanggil si mas-mas pecel lele. "Saya pesen makanan yang sama persis kaya bapak dokter yang di sebelah saya ini!" kataku sambil menunjuk si duren yang dari tadi gak bergeming tetep makan dengan antengnya. "Mas, nanti bon nya pisahin jangan di satuin sama dia!" tambahku. Si mas-mas melirik si duren di sebelahku lalu mengangguk dan berlalu dari hadapanku.

Tahu gak si duren ngapain sekarang? Terkekeh dong, menyebalkan!

"Gak usah ketawa! Sok cakep banget!" kataku ketus.

"Kamu kayaknya kebayanyakan minum, minuman bersoda?"

"Hah?"

"Abis ngomongnya ngegas mulu!"

Aku berdecak kesal, "Eh, ya kalau Mas dokter yang terhormat gak nyebelin, saya juga gak akan bersikap kayak gini," kataku kesal. Untung warung tenda pecel lele malam ini lagi sepi. Kalau penuh kayaknya aku sudah jadi bahan tontonan. Pasti deh bakal dikira ada pertengkaran dalam rumah tangga.

"Kamu lagi PMS?" tanyanya enteng.

"Hah?"

"Sensi amat!"

Aku sedikit menggeram dan sudah siap mengeluarkan berbagai kata makian untuk si duren yang lagi makan sambel seiprit tapi keringetnya kayak makan cabe satu kilo. Banjir. Tapi kok tambah ganteng, masa?

Masa Eijaz Kamila harus nahan mati-matian biar tanganku ini gak main nyusut keningnya yang keringatan.

Ah, dalam diri Eijaz memang banyak setannya, makanya pikirannya kemana-mana!

"Makannya pelan-pelan! Tuh sambelnya sampe belepotan!" katanya sambil mengelap sudut bibirku yang beleptan sambel dengan ibu jarinya.

Ibuuuuuu, Eijaz meleleh!

***

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa diam. Pikiran Eijaz melanglang buana cuma gara-gara perlakuan si duren yang sialannya bikin Eijaz meleleh. Kapan coba Eijaz digituin? Semanis-manisnya Pras dulu gak pernah deh bersikap kayak gitu. lah dia? aduh otak Eijaz udah gak bisa kerja dengan baik nih.

"Kamu gak akan turun?"

"Hah?"

"Kita udah sampai?" katanya sambil terkekeh. Seketika kepalaku menoleh ke berbagai arah dan ternyata benar, mobil si duren sudah berhenti tepat di depan rumahku.

Dengan cepat aku melepaskan savety belt yang membelit tubuhku dan bergerak untuk membuka pintu mobil milik si duren.

"Besok kuliah?" aku urungkan niatku untuk membuka pintu dan kembali mengarahkan pandangan pada si duren yang sialannya kok malah tambah ganteng kena cahaya remang-remang mobil. Dengan cepat aku mengangguk.

"Motor kamu kan lagi di bengkel besok bareng saya aja," katanya. Demi apa coba dia kasih tumpangan. Ini jantung malah degdegan coba baru dikasih tumpangan gini, gimana kalau diajakin nikah coba? Dengan cepat aku menggeleng untuk mengusir segala pikiran gila di otak Eijaz.

"Kok malah geleng?"

"Ehm, eh, itu, gak usah. Biar besok saya bareng bapak aja. makasih tawarannya," kataku.

Dia terkekeh, "Kasian bapak kamu dong harus belok-belok. Mending bareng saya aja, rumah sakit saya searah kok sama kampus kamu," katanya. Aku diam tak menjawab. "Ya udah sih kalau gak mau. Saya Cuma___"

"Eh, mau kok!" dengan cepat perkataannya aku potong. Dan saat tawa menggema terdengar barulah aku sadar bahwa Eijaz sudah berbuat bodoh. Bodoh gak ketulungan. Keliatan banget pengen dianterin dia.

"Sialan!" makiku akhirnya.

"Ok! Jam tujuh udah siap ya, soalnya saya praktek jam delapan," katanya setelah gelak tawanya terhenti.

Aku hanya menjawabnya dengan dengungan dan berbalik untuk segera keluar dari mobil si duren. Tapi gerakanku terhenti saat ada seseorang mencengkran lenganku. Siapa lagi kalau bukan si duren sialan. Aku berbalik.

"Biasain bilang makasih. Saya udah nolong kamu lo," dan perkataan itu sukses membuatku berdecak. Sumpah, si duren bikin aku naik darah.

"Makasih!" kataku ketus dan menyemburlah tawa kencang dari si duren. "Puas? Hah?!"

"Puas banget!" katanya sambil berusahan menghentikan tawanya.

Sekarang Eijaz memiih untuk keluar dari mobil mewah si duren sebelum si duren sialan dan gantengnya sialan itu benar-benar membuat Eijaz Kamila cepet tua.

Brak!!!

Aku menutup pintu mobil dan sedikit membanting. Bodo amat sama mobil si duren sialan itu. Bodo amat mobilnya rusak. Aku gak perduli! Bodo amat!

Stuck WIth You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang