Bab 4 - Pertanggungjawaban

1.7K 220 19
                                    

Pertanggungjawaban

"Apa kau sudah gila?!" Suara tinggi Miko itu membuat Talitha meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia baru saja menelepon Miko dan menceritakan semuanya pada pengacara kakaknya itu karena itu adalah satu-satunya cara yang ia tahu.

"Aku tidak punya jalan lain untuk mempertahankan hak asuh Jia. Jika mereka membawa kasus ini ke pengadilan, aku akan kalah, Mik. Kau tahu kondisiku." Talitha menghela napas. "Orang tua Juna benar, masa depan Jia tidak terjamin bersamaku. Kecuali aku punya pekerjaan tetap di perusahaan besar, mendapat posisi bagus dan menjanjikan, atau menikah dengan pria mapan tidak waras karena mau menikahiku," racau Talitha putus asa.

Miko mendesah lelah di seberang. "Kenapa kau tidak mengatakan jika kau bertunangan denganku? Itu akan lebih mudah bagi kita."

Talitha mengerang. "Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?" keluhnya.

"Kau yang tidak memberitahuku tentang rencana ini sebelumnya," balas Miko kesal. "Astaga, Talitha ... bagaimana bisa kau memikirkan solusi seperti itu?"

Talitha menggeleng. "Akal sehatku sedang tidak berfungsi, Mik," desahnya lelah. "Kau bisa menyalahkan Nania dan film-film Korea yang dia paksakan untuk kutonton itu. Kurasa aku harus mulai bekerja sebagai penulis naskah film seperti itu."

Miko mendengus kesal. "Kau benar-benar harus memeriksakan kepalamu itu."

"Aku tahu, aku tahu," Talitha mengalah. "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"

Terdengar desahan lelah di seberang sana. "Karena kau tidak mungkin bekerja di luar ..."

"Aku bisa mencoba," sela Talitha.

"Tidak," putus Miko. "Kita sama-sama tahu itu tidak mungkin. Kau sudah lama tidak bersosialisasi kecuali dengan Bu Nenny, teman-teman gamers-mu, dan beberapa orang karena terpaksa. Kau nyaris tidak pernah keluar rumah. Juna bahkan tidak bisa membiarkanmu keluar sendirian karena khawatir. Ditambah lagi, kau belum pernah bekerja sebelumnya."

Talitha merengut. "Tapi, aku bisa belajar, Mik," ia berkeras.

"Tidak sekarang, Ta. Emosimu sedang tidak stabil. Setidaknya, kau harus memulai segalanya pelan-pelan, tidak langsung seperti ini. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya," tegas Miko.

"Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Talitha muram.

Miko menarik napas dalam. "Kita harus mencari orang yang kau sebutkan pada orang tua Juna tadi. Hanya itu jalan satu-satunya. Mungkin kau bisa meminta tolong pada teman sekolahmu atau ..."

Talitha mengerang. "Masalahnya, aku tidak mengenal orang seperti itu. Satu-satunya teman SMA yang masih tetap kuhubungi hingga saat ini adalah Evita. Dan aku ... baiklah, aku akan mencoba meminta tolong padanya," akhirnya ia mengalah.

"Aku juga akan mencari teman-temanku yang bisa membantumu. Sepertinya aku punya beberapa teman yang ada di luar negeri, dan pengusaha. Berharap saja mereka mau membantumu. Astaga, Talitha ... ini tidak hanya pacaran atau bertunangan. Tapi menikah, astaga! Buatlah janji dengan psikiater," kata Miko kesal sebelum kemudian menutup telepon begitu saja.

Talitha menatap ponselnya dengan muram. Apa-apaan dia? Baiklah, Talitha tahu ini ide gila, tapi Miko tahu semua yang terjadi belakangan ini bisa membuat siapa saja gila. Talitha bahkan masih terpukul karena kehilangan kakak dan kakak iparnya. Belum lagi masalah Jia. Dan sekarang ini.

Talitha menjatuhkan tubuh di sofa. Ia menatap Jia yang tertidur di sofa, di sebelahnya. Betapa pun beratnya ini, ia harus menghadapinya. Jika bukan demi hidupnya sendiri, setidaknya demi Jia. Betapa pun Talitha ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga, ia masih harus memikirkan Jia. Jika ia tak memiliki cukup harapan untuk hidup dan masa depannya, setidaknya ia harus tetap berharap untuk hidup dan masa depan Jia.

The Baby's ProjectWhere stories live. Discover now