Bab 7 - Pasangan

1.5K 205 22
                                    

Pasangan

Nathan melompat kaget hingga sikunya menabrak pintu kamarnya ketika mendapati seseorang berjongkok di depan kamarnya saat ia hendak keluar. Orang itu, mendongak dan menatap Nathan dengan kaget juga, meski tidak sampai menabrak pintu, lalu ia berdiri dan tersenyum canggung pada Nathan.

"Apa yang kau lakukan di situ?" Nathan berusaha menahan nada suaranya sedatar mungkin, berbanding terbalik dengan suasana hatinya.

"Aku menunggumu. Apa aku mengagetkanmu?" tanya gadis itu polos.

Nathan meredam kekesalannya. Ia mengulangi kata-kata Evita dalam kepalanya,

"Dia masih anak-anak ... masih anak-anak ..."

Benar. Jiwa yang terkurung dalam tubuh gadis ini adalah jiwa anak-anak yang polos, atau mungkin, bodoh. Dia hanya akan melakukan apa pun yang dia suka, mengambil pilihan pertama yang ada dalam kepalanya, tanpa memedulikan resiko yang harus dia hadapi setelahnya. Dia masih anak-anak, ulang Nathan dalam hati.

"Lain kali, kau bisa menungguku di bawah, Talitha. Tidak perlu menungguku di depan pintu seperti ini," terang Nathan sabar.

"Baiklah, lain kali akan kulakukan itu. Tapi ... jika aku menunggumu di bawah, lalu kau tidak turun, apa aku harus naik dan mengetuk pintu kamarmu? Apa itu tidak akan mengganggumu?" tanya gadis itu lagi.

Nathan berdehem seraya menatap lantai. Ia tahu ia sedang frustrasi, tapi entah kenapa ia mendadak ingin tertawa. Namun, karena ia tahu Talitha akan menganggapnya gila jika ia tertawa di situasi seperti ini, menahan tawa adalah keputusan yang bijak untuk saat ini. Nathan kembali menatap Talitha.

"Kalau begitu, kau bisa mengetuk pintu kamarku jika ada yang ingin kau bicarakan denganku. Atau, kau bisa menelepon dan mengirim pesan padaku jika kau tidak mau repot-repot datang ke kamarku hanya untuk mengetuk pintu," jelas Nathan sabar.

Talitha tersenyum lega, tampaknya dia baru saja mendapatkan solusi untuk masalah peliknya itu. "Jika aku sudah berada di depan komputer atau sedang bermain game, aku akan merasa sangat enggan beranjak. Biasanya, aku hanya berteriak pada Kak Nania atau Kak Juna, tapi jika aku berteriak padamu, kurasa itu akan mengganggumu, kan?"

Nathan mengangguk. "Tapi, kau bisa melakukannya padaku jika terdesak," ucapnya mengalah. "Lalu, apa yang ingin kau bicarakan? Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita akan berbicara setelah aku selesai mandi dan ..."

"Makan malam," sela Talitha. "Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku sudah menyiapkan makan malam. Tapi, karena aku tidak bisa memasak sebaik Kak Nania, aku memesan makan malam untuk kita. Kita bisa berbicara besok jika kau masih lelah. Aku tidak ingin menyulitkanmu selama kau tinggal di sini dan membantuku. Jadi, aku ..."

"Baiklah, ayo kita makan malam, lalu kita lihat apa yang bisa kita bicarakan setelahnya," saran Nathan seraya menutup pintu kamarnya, lalu menarik Talitha ke arah tangga.

Nathan baru melepaskan tangan Talitha begitu mereka tiba di lantai satu. Seketika itu juga, Talitha berlari ke arah berlawanan dari ruang tamu, dugaan Nathan, ruang makan, atau dapur. Nathan mengikuti Talitha, masuk ke dapur dengan meja makan di tengah ruangan itu. Di atas meja makan, ada berbagai macam makanan yang membuat Nathan melongo.

"Apakah kita sedang merayakan sesuatu?" tanya Nathan ragu.

Talitha meringis. "Aku tidak tahu apa makanan kesukaanmu, jadi aku ... memesan apa yang ada dalam kepalaku. Ayam, ikan, telur, daging, lobster, soto, kentang, mie ..."

"Ta," sela Nathan dengan suara selembut mungkin.

Talitha menatap Nathan cemas. "Kau ... tidak ada satu pun yang kau sukai?"

The Baby's ProjectWhere stories live. Discover now