Bab 10 - Tentang Nathan

1.1K 188 30
                                    

Tentang Nathan

Setelah pembicaraan tentang kontrak tadi, Talitha mengajak Nathan dan Miko makan siang. Namun, di ruang makan pun Miko dan Nathan melanjutkan percakapan tentang kontrak itu.

"Jangan coba-coba kau memasukkan poin yang tidak ada dalam pembicaraan kita tadi," Nathan berkata pada Miko.

"Kau sendiri, jangan sampai melanggar semua peraturan yang kita sepakati di kontrak tadi. Pernikahan itu hanya status, pernikahan di atas kertas. Kau tidak punya hak apa pun atas Talitha," tandas Miko.

"Tidak bisakah kita makan siang dulu?" Talitha menyela.

"Ya, makanlah," Nathan mempersilakan Talitha, tapi dia sendiri masih tak menyentuh makan siangnya.

"Maksudku, kau juga, Nathan," tukas Talitha.

Nathan menatapnya kaget.

"Ayo makan, sebelum Jia bangun," ajak Talitha sembari tersenyum.

Nathan membalas senyumnya dan mengangkat sendoknya, tapi pertanyaan Miko kemudian membuat Nathan kembali meletakkan sendoknya dan menatap Miko,

"Bisa kau jelaskan lebih rinci tentang pekerjaanmu?"

"Miko, ayolah, kau terdengar seperti ibu mertua," omel Talitha. Ia lalu menoleh pada Nathan, "Makanlah dulu. Kalian bisa melanjutkan percakapan kalian nanti."

"Talitha, ini masalah tentang hidupmu. Kau harus lebih serius memikirkannya. Kau bahkan tak mencari tahu latar belakang calon suamimu ini, kan? Bagaimana jika dia punya rekam jejak kriminal? Atau, bagaimana jika dia punya masalah di perusahaannya? Bagaimana jika perusahaannya di ambang kehancuran? Bagaimana hidupmu dan Jia nanti?" cecar Miko.

Talitha tak lagi punya kekuatan untuk menjawab itu, jadi ia hanya menghela napas dan mulai menyantap makan siangnya. Kenapa sepertinya tak ada yang mudah tentang ini? Talitha sudah cukup merasa tak nyaman karena harus melibatkan Nathan dalam masalahnya.

***

Nathan memperhatikan ekspresi Talitha. Ia tak bisa mendengar isi kepala gadis itu, tapi ia seolah bisa melihat keributan di sana.

"Panorama Group. Aku CEO Panorama Resort. Aku baru kembali dari luar negeri karena pembangunan resort baruku. Aku selalu mengawasi sendiri pembangunan dan pengembangan resort-ku," jawab Nathan mantap. "Aku tidak punya rekam jejak kriminal dan perusahaanku baik-baik saja, tidak di ambang kehancuran. Tidak ada masalah dengan perusahaanku, ataupun masa depan Talitha dan Jia bersamaku."

"Apa kau sering berpindah-pindah untuk urusan pekerjaan?" tanya Miko lagi.

Nathan berdehem. "Cukup sering. Aku harus mengecek resort-resort-ku secara berkala."

"Lalu, bagaimana dengan Talitha dan Jia? Talitha akan kerepotan mengurus Jia sendirian."

"Aku akan membawa mereka bersamaku jika aku harus pergi cukup lama," jelas Nathan.

"Itu akan sulit begitu Jia memasuki usia sekolah nanti," tukas Miko.

"Aku dan Jia bisa menunggu Nathan pulang di rumah," kali ini Talitha yang menjawab.

Nathan menatap Talitha dengan terkejut. Terkejut karena gadis itu membantunya, sekaligus terkejut karena konsep ada Talitha dan Jia yang akan menunggu Nathan pulang di rumah.

"Aku tidak ingin merepotkan Nathan dan menganggu pekerjaannya. Lagipula, jika Jia sudah sekolah, tentu tidak akan sesulit seperti sekarang kan, mengurusnya?" Talitha begitu percaya diri.

Miko mendengus geli. "Kau akan menyesal mengatakan ini, Talitha. Sampai kapan pun, membesarkan seorang anak tidak pernah mudah."

Seolah mendukung pernyataan Miko, tiba-tiba terdengar suara tangisan Jia dari kamarnya. Talitha sudah akan berdiri, tapi Nathan menahan bahunya.

"Biar aku saja. Lanjutkan makan siangmu," Nathan berkata sembari berdiri.

"Apa yang harus kalian hadapi sekarang, belum apa-apa," celetuk Miko ketika Nathan akan pergi.

Nathan menatap pria itu kesal. "Apa pun itu, aku akan menghadapinya bersama Talitha. Jadi, kau bisa berhenti menggoyahkan Talitha."

Setelah mengatakan itu, Nathan bergegas meninggalkan meja makan dan pergi ke kamar Jia.

***

Tak lama setelah naik ke kamar Jia, Nathan sudah kembali sambil menggendong Jia yang sudah berhenti menangis. Keponakannya itu menyandarkan kepala di bahu Nathan, tangan mungilnya mengalungi leher Nathan. Melihat itu, entah kenapa Talitha merasa terharu.

Talitha sudah akan berdiri, tapi Nathan menggeleng. "Lanjutkan dulu makanmu."

"Tapi, kau juga belum makan," sebut Talitha.

"Kita bisa bergantian," jawab pria itu. "Lagipula, aku harus membuat makan siang Jia dulu."

Talitha akhirnya mengalah dan melanjutkan makan. Sementara, Nathan menggendong Jia ke dapur. Pria itu menyiapkan bubur bayi untuk makan siang Jia. Samar Jia merengek dan dengan tenang Nathan berkata,

"Jia sudah lapar, ya? Sebentar, ya? Om sedang membuat makan siang untuk Jia."

Talitha menatap ke arah punggung Nathan. Tatapannya bertemu dengan Jia yang kepalanya bersandar di bahu Nathan. Keponakannya itu tiba-tiba tersenyum ke arahnya. Detik itu juga, Talitha yakin, mereka akan baik-baik saja.

"Talitha, kau harus memikirkan ini sekali lagi. Kau ..."

"Miko," panggil Talitha, menyela kalimat pria itu.

Miko menatapnya, menunggu.

"Jika Nathan bersama aku dan Jia, kurasa kami akan baik-baik saja," ucap Talitha. "Hari ini kami melalui banyak hal bersma. Mulai dari mengganti popok Jia, memandikan Jia hingga kamu berdua ikut basah, menidurkan Jia, membereskan mainan Jia yang berserakan, bahkan kini, dia juga menyiapkan makanan Jia. Jia membutuhkan pria itu. Dan aku hanya akan memilih apa yang dipilih Jia."

"Bahkan meski itu mungkin bukan yang terbaik untukmu?" Miko menyangsikan.

Talitha tersenyum tipis. "Aku hanya butuh yang terbaik untuk Jia."

Miko menghela napas. "Jika ada apa-apa, kau harus menghubungiku, Ta," pesannya.

"Tentu saja. Memangnya, siapa yang bisa kuhubungi selain kau?" balas Talitha.

"Aku, mungkin." Sahutan itu datang dari Nathan yang sudah berdiri di belakang Talitha. Pria itu memindahkan kursi bayi di antara kursi mereka, lalu mendudukkan Jia di sana. "Kita sudah sepakat tentang itu."

Talitha tersenyum. "Ya, kau benar. Aku pasti akan mengubungimu lebih dulu jika ada apa-apa," ucapnya. "Terima kasih, Nathan."

Nathan melempar senyum padanya sebelum menyuapi Jia. Namun, Jia kemudian merengek dan meminta sendok di tangan Nathan. Pria itu mengalah dan menyerahkan sendok pada Jia.

"Setiap kali aku melihat kakakku melakukan itu, sesuatu terjadi," beritahu Talitha.

Nathan menatapnya dengan kening berkerut. "Sesuatu macam apa?" tanyanya.

Belum sempat Talitha menjawab, Jia sudah melempar sendoknya ke udara. Seolah itu belum cukup buruk, sendok itu sempat mendarat di kepala Nathan, sebelum jatuh ke lantai. Talitha panik dan langsung menyambar tissue, lalu berdiri untuk membersihkan rambut Nathan.

"Nathan, maaf ..."

Namun, Nathan malah terkekeh. "Ingatkan aku untuk tidak mengalah semudah itu tentang sendok," katanya.

Talitha tersenyum geli, masih dengan tangan mengelap rambut Nathan yang terkena bubur bayi.

"Kurasa sebaiknya kau mandi setelah ini," usul Talitha.

"Yeah, mungkin setelah Jia puas melemparkan entah apa lagi ke kepalaku, aku akan mandi," jawab Nathan, tapi pria itu tak sedikit pun terdengar kesal.

Talitha tersenyum lega. Ya, Jia membutuhkan sosok seperti Nathan untuk ada di sampingnya. Sejak awal, Talitha melakukan ini untuk Jia. Bukan untuknya.

***

The Baby's ProjectOnde histórias criam vida. Descubra agora