22. Berubah

363 57 44
                                    

Zyana duduk dengan tenang di kursi taman. Matanya menatap kosong. Ia tersenyum tipis. Hatinya kembali retak.

Dulu, dirinya dianggap PHO karena pacaran dengan seseorang yang ternyata dekat juga dengan perempuan lain. Yup, hanya dekat, tanpa hubungan. Zyana terkekeh, memangnya ia tahu jika Ridho memiliki teman dekat yang menyukainya?

“Kamu juga cewek, harusnya kamu paham sama perasaan Kakak! Kakak suka sama Ridho udah lama dan kamu malah pacaran sama Ridho.”

“Gue kan gak tau. Lagian dia gak pernah bilang. Selama kita kenal, dia gak pernah nyebut-nyebut nama lo di depan gue.”

“Aku mau kamu ninggalin Ridho. Kamu gak pernah berarti buat Ridho.”

“Kakak yakin? Padahal kita sama-sama tau, waktu Ridho disuruh milih antara gue atau Kakak, dia milih gue. Itu yang lo bilang gue gak berarti?”

“Diem! Kamu bahkan gak ada sopan santunnya! Aku lebih tua dari kamu, tapi kamu bicara sama aku pake lo-gue. Apa pun alesan kamu, kamu harus ninggalin Ridho. Atau Kakak yang akan pergi dari kamu?”

Zyana tersenyum. Ia tak pernah bisa kehilangan orang-orang di sekitarnya. Sekali ia mengenal orang itu, ia tidak akan membiarkan orang itu pergi karena dirinya. Di situlah Zyana harus mengalah. Ia memilih putus dengan Ridho.

Zyana menatap jam tangannya. Sudah dua jam ia duduk sendiri. Bukan iseng atau keinginan Zyana, tapi ia sedang menunggu Zyco. Laki-laki yang berjanji akan menemui Zyana setelah ashar, nyatanya sampai jam lima tak kunjung datang.

Dengan sabar, Zyana mencoba menghubungi Zyco. Bukan yang pertama, sejak satu jam yang lalu ia berusaha menghubungi nomer handphone Zyco, tapi hasilnya nihil.

Zyana menggigit bibir bawahnya saat mendengar dering telepon tersambung. Ia menunggu lama sebelum akhirnya menghela napas lega.

“Zyco ...”

Zyana menahan napasnya gugup. Entah kenapa, akhir-akhir ini, ia merasa Zyco berbeda dari biasanya.

“Ya?”

Zyana menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Ia berusaha agar suaranya terdengar normal. “Lo di mana?”

“Di rumah. Kenapa?”

Deg

Zyana semakin menggigit bibir bawahnya. Ia menahan sesak sambil berdoa semoga pemikirannya salah. “Lo lupa kalau lo ngajak ketemuan?”

Hening. Diamnya Zyco membuat Zyana takut.

“Gue sakit.”

Dua kata yang mampu membuat Zyana melotot kaget. “Sakit? Sakit apa? Kok bisa? Kenapa? Emang abis ngapain? Udah periksa? Hasilnya gimana?” Zyana bertanya tanpa jeda, siapa pun tau jika dirinya sedang khawatir.

“Iya, cuma pusing and dada nyeri aja.”

“Loh, kenapa? Udah periksa? Parah gak?”

“Mayanlah.”

Singkat, padat, dingin. Di saat Zyana bertanya karena terlalu khawatir, balasan dari Zyco membuatnya semakin gelisah.

“Kenapa? Kok bisa sih?”

“Gak tau.”

Air mata Zyana menetes. Zyco yang ia kenal bukan seperti ini. Cara bicaranya tak pernah sedingin ini.

“Zyco kenapa jadi dingin?”

“Gak pa-pa, cuma lagi sakit aja. Jadi badmood. Ntar juga balik lagi.”

FUCKGIRL COMEBACK [END]Where stories live. Discover now