27. Sang Peramal

358 51 9
                                    

Zyana mengembuskan napasnya kesal. Sepanjang perjalanan ke taman, yang ia lihat hanyalah sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Mungkin, dikarenakan malam nanti adalah malam Minggu. Zyana yang suntuk di rumah akhirnya memutuskan untuk pergi ke taman sore hari. Namun, sepertinya bukan keberuntungan yang ia dapatkan. ‘Sial! Jomblo bet gue di sini.’

Zyana menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap sekiranya ada yang ia kenal. Lagi dan lagi ia mengembuskan napas kesal. Kali ini ia pasrah, Zyana membeli satu botol minuman soda sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku yang kosong. Lumayan ujung karena yang bagian tengah dan ujung sudah penuh oleh muda-mudi.

“Ya ampun, gue keliatan jomblo banget gak sih?” tanya Zyana pada dirinya sendiri. Kepalanya terus saja menoleh ke sana ke sini. “Bangke emang, pacaran jangan di taman kenapa sih? Kek gak ada tempat lain aja heran.”

“Hmm ... laper juga ya, beli apa nih enaknya?” Zyana mengedarkan pandangannya. Tatapannya berhenti pada salah satu pedagang bakso yang ada di dekat pohon besar pinggir jalan. “Wihh! Leh ugha. Gasskeun we lah!”

Dengan semangat Zyana langsung menghampiri penjual tersebut. Ia berdecak kesal saat tahu ternyata harus mengantri. ‘Perasaan tadi gak rame deh!’

Zyana menggeleng pelan. ‘Makanya jangan pake perasaan, Zya!’ Zyana berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk. ‘Bener juga. Eh, tapi kan gue punya perasaan? Gimana sih lo?’

“Oke fiks, lo gila, Zy. Ngapain ngomong sama diri sendiri?” Zyana terkekeh dengan perkataannya sendiri. Namun, ia segera membekap mulutnya saat melihat seorang ibu-ibu melihatnya aneh. Zyana hanya membalasnya dengan senyuman kikuk.

“Halo, Bu. Hehe, saya baik, kok. Tenang aja, Bu. Saya gak kesurupan.” Zyana menjelaskan tenang. Berbeda dengan ibu-ibu tersebut yang semakin menatap Zyana aneh. Tak lama, ibu-ibu tersebut memilih pergi dari tempat itu, meninggalkan Zyana yang masih cengo.

“Anjir, gue ditinggalin mulu dah,” gerutu Zyana sambil menggelengkan kepalanya.

Aya naon, Neng?”

Zyana menoleh lalu tersenyum manis. “Teu nanaon, Mang. Mau pesen bakso satu mangkok saja lima ratus perak, yang banyak baksonya.”

“Eleh, Neng. Jaman sekarang mana ada yang lima ratus perak atuh.”

Zyana menyengir. “Eh, saya nyanyi, Mang.”

Penjual bakso itu mengerutkan keningnya. “Loh, si Eneng ini mau ngamen toh?”

Zyana melotot kaget. “Mang, ya kali saya cantik-cantik gini mau ngamen. Saya mau pesen ini.”

“Tadi katanya nyanyi.”

Astaghfirullah, sabar sabar. Saya nyanyi itu ada pesan tersiratnya. Saya mau pesen, Amang.”

“Eh, sembarangan kamu! Saya gak bisa dipesen, enak aja. Gak sopan ya kamu!”

Zyana menutup wajahnya malu karena beberapa orang menoleh ke arah mereka. ‘Duh, bloon bloon!’

“Gak gitu, Mang. Ya Allah beri hamba kesabaran. Saya ngomong ‘Saya mau pesen pake koma terus baru Amang.’ Paham gak, Mang?”

Penjual itu menggaruk kepalanya bingung.

“Ya udah intinya saya mau pesen bakso satu mangkok, minumnya es teh anget. Jadi tehnya kudu anget dulu baru dikasih es, jangan dikasih es dulu baru diangetin. Oke, Mang? Oke aja udah. Saya tunggu di ...” Zyana melihat ke sekeliling. Ia tersenyum saat menemukan bangku yang hanya diisi oleh seorang perempuan. “Sana aja ya, Mang. Oke, sekian. Ini uangnya, makasih.” Zyana tersenyum sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan lalu segera menuju bangku yang ia tunjuk tadi.

FUCKGIRL COMEBACK [END]Where stories live. Discover now