23. Perang Es

331 53 76
                                    

Vivi menatap cermin di depannya, mengingat kembali kejadian kemarin. Sungguh, ia tak marah pada Zyana. Hanya saja, ia kecewa. Ia tahu Zyana sedang emosi dan ia pun terkejut. Yah, ini adalah kali pertamanya ia melihat Zyana benar-benar mengeluarkan emosinya. Karena yang Vivi tau, Zyana adalah yang paling pandai mengendalikan ego-nya. Namun, kemarin sepertinya ego Zyana-lah yang mengendalikan Zyana.

Vivi menghela napasnya lelah. Ia mengingat-ingat semua yang terjadi di persahabatan mereka. Satu hal yang dapat ia simpulkan. Saat mereka bahagia, maka mereka akan benar-benar di atas awan. Dan saat mereka rapuh, mereka akan benar-benar jatuh. Ya, Vivi sendiri bingung kenapa masalah selalu datang bersamaan. Dimulai dari salah satu di antara mereka berempat, lalu satu lagi, lalu satu lagi, sampai akhirnya semua masalah membuat mereka sendiri bingung bagaimana menyelesaikannya dan yang mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu.

Vivi menatap cermin di depannya dengan senyum tipis. Ia langsung keluar dan menuju ruang makan. Raut wajahnya datar tanpa senyuman. Keluarganya pun tak ada yang memperdulikan hal itu.

Vivi menarik kursi bersebelahan dengan Vina, saudara dari papanya.

“Oh, Tuan Putri sudah datang rupanya,” sinis Vina menatap Vivi.

Vivi hanya diam tanpa niat menjawab perkataan Vina. Ia tahu jika ia mendebat Vina, maka itu adalah hal yang sia-sia dan ia akan berakhir dengan omelan papanya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, papa Vivi langsung memimpin sarapan.

Vivi memakan sarapannya dengan cepat. Tentu saja ia tak ingin berlama-lama dengan manusia-manusia menyebalkan yang ada di rumahnya. Setelah selesai, ia menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring. Ia mengambil susu dan meminumnya dengan cepat.

Tak ada yang memprotes perilakunya. Lebih tepatnya, mereka tak peduli apa yang dilakukan Vivi. Vivi menghampiri papanya dan mencium tangan papanya.

“Vivi berangkat, Pa.”

Papa Vivi mengangguk. “Pulang sekolah jangan ke mana-mana, langsung pulang.”

Vivi hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya sama sekali tak peduli dengan ucapan papanya. Ia keluar dengan segera menuju mobilnya yang sudah dipanaskan oleh pekerja di rumahnya.

Vivi mengendarai mobil dengan santai, berbeda dengan pikirannya yang berkecamuk.

“Lo jelas tau gue kayak apa, Zy,” gumam Vivi datar.

***

Aylin masuk ke kelas dengan senyum tipis. Ia melihat Zyana yang sudah tertidur dengan tangannya sebagai bantal.

“Gue bingung harus ambil sikap kayak gimana.”

Aylin langsung duduk di bangkunya. Ir melirik bangku di sebelahnya, bangku Rara. “Kapan lo balik, Ra?”

Tak lama setelahnya, mata Aylin menangkap sosok Vivi yang masuk ke dalam kelas dengan raut wajah dingin. Aylin menghela napas resah.

“Apa Vivi marah?” tanyanya pelan.

Vivi berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya. Ia langsung duduk dan menyumpal telinganya dengan headset. Matanya fokus pada layar handphone-nya. Sama sekali tak menghiraukan keberadaan Aylin ataupun Zyana.

Mereka bertiga sama-sama diam. Bahkan aura di antara mereka seakan-akan mencekam. Tak hanya mereka yang merasakan, tapi juga murid-murid yang lainnya. Mereka dari tadi terus melirik ketiga sahabat itu yang hanya diam tanpa berbicara.

Bahkan sampai bel istirahat pun mereka tak ada komunikasi sama sekali.

Aylin menoleh canggung. Ia menatap Vivi yang tetap fokus pada handphone-nya.

FUCKGIRL COMEBACK [END]Where stories live. Discover now