Part 6

118 11 1
                                    

"Eh, Ra frappe kamu sudah datang."

Radith mengganti topik. Entah kenapa dia takut bertambah sinting melihat kecentilan Inara didepan matanya malah dikategorikan manis.

Tuhan.

Dia sepertinya lupa berdoa. Atau dia kurang bersedekah.

Dia tidak boleh terbuai.

Ingatlah Radith. Inara cuma menggombal. Keseriusan wanita itu bisa dikatakan berada dititik terendah.

Bisa-bisa nanti Radith membeku karena mulai main hati.

"Eh, tumben cepat. Biasanya aku tegur pun minumnya gak datang-datang"

"Mungkin lagi gak rame. Ini juga bukan weekend."

"Bener juga sih kak. Eh tadi kita bicarain apa?"

Inara menggaruk pelipisnya. Sepertinya mereka barusan membahas hal penting. Tapi frappe choco malah membuat Inara lupa segalanya. Isi kepalanya kosong yang tertinggal hanya pikiran kotor Inara yang ingin icip-icip bibir anak bos.

Radith mengangkat bahu.

"Kita tadi bahas alasan kamu betah di kantor papa."

Inara menepuk jidatnya.

"Oh ya. Terus aku jawab apa yah kak? Aku rasa ada yang penting tapi lupa."

"Yah kamu nyaman katanya dari pada kerja dipabrik dulu. Gak usah dibahas lagi. Itu makanan kita sepertinya."

Benar saja. Pelayan yang sebelumnya merhatiin Radith datang membawa baki ke arah meja mereka.

"Permisi." Katanya sembari menaruh pesanan Inara dan Radith.

"Makasih mba."

Pelayan itu senyum-senyum sok manis dan langsung terdiam ketika melihat pelototan Inara yang sangat tidak bersahabat.

Berat hati pelayan itu terkocar-kacir lari ke dapur. Pasti mau menggibah Inara.

"Kakak yakin cuma makan itu kenyang? Kita pesan snack lagi gak kak?"

Mumpung juga kak Radith yang bayar. Pikir Inara.

Gajian masih lama. Saldo direkening sudah tinggal lima saja nolnya. Inara harus hemat. Modal untuk menarik perhatian lelaki seperti Radith itu tidak murah. Tapi kalau sudah dapat, modal yang kembali ratusan kali lipat. Jadi berhura-hura dahulu baru panen kemudian. Inara nanti tinggal menikmati uang bulanan jika berhasil menikahi Radith.

Memikirkan itu saja sudah membuat senyum bengis muncul dibibir tebalnya.

Inara harus sabar dan berikhtiar.

"Cukup kok Ra. Kan tadi sudah makan sama papa."

Senyum Inara lenyap.

Kampret.

Padahal Inara sudah mau nyoba beberapa menu snack baru.

Pertanyaan menyesat Inara tidak berhasil. Tahu begini dia frontal aja mau mesan banyak. Memang gengsi itu tidak mengenyangkan.

Bodoh memang Inara.

Lelaki kaya itu tidak peka.

"Tapi kalau kamu mau nambah snack lain, silahkan. Tapi jangan gak dihabiskan yah. Mubazir itu sikap tidak terpuji."

"Aduh."

Inara memegang dadanya.

"Eh, kamu kenapa Ra?" Tanya si ganteng khawatir.

"Jantung adek gak kuat kak."

"Hah?"

"Kalau kakak begini manisnya jantung aku bisa kodar. Sudah kaya, ganteng, perhatian, bijak pula. Gak tahan diserang terus sama kakak."

Naksir Anak Boss. [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang