Part 8

147 14 3
                                    

Inara girang bukan kepalang.

Begitu kakinya menjejak halaman kantor bunga-bunga berseri menguar dari kepalanya. Maya yang kebetulan berpapasan dengan dia mengerutkan kening jijik karena muka mupeng Inara tak bisa dikondisikan wanita itu.

"Gak perlu ditanya yah Ra, mukamu sudah menjelaskan segalanya."

"Eh Maya cantik. Tahu aja ini. keliatan yah? Wajahku glowing kan?"

"Hooh! Glowing seperti pantat panci yang baru dibeli."

"Kampret! Panci pula! Tapi gak papa aku lagi bahagia hingga bisa terbang kesarang burungnya kak Radith."

Maya menghentikan langkah.

"Kak?" tanyanya menggantung.

"Apa?"

"Sejak kapan kamu manggil anak bos pake kak?"

Inara cengengesan menjijikkan.

"Lap dulu itu bibir. Liurmu netes."

"Eh yah. Soalnya kalau ingat semalam suka ngeces."

"Jadi kenapa?"

Inara merapikan rambut dan letak behanya. Dia merasa kaos kaki yang dia sumpal disana tergeser.

"Kata pak Radith kalau kami diluar panggil kakak saja. Ketuaan kalau bapak. Aduh tanda-tanda kan ini. aku sudah dikasih lampu hijau sama calon."

Inara mendorong pintu kaca kantornya. Dia menyapa Dwi yang sudah sibuk menyalakan komputernya.

"Pagi kak Dwi sayang."

"Jijik Ra! Mau apa? Dibelikan bakpao?"

"Ih, gak suka bakpao! Maunya pizza!"

"Mahal kuyang! Pagi-pagi manggil aku sayang pasti ada udang dibalik sarung."

"GR! Kan aku cuma lagi bahagia saja."

"Sukses yah semalam?" Pancing Dwi. Duduk dan merapikan berkas-berkas dimejanya. Si tetua ini memang paling rajin bersih-bersih dan paling banyak berkasnya. Kustumer dia paling banyak. Gajinya juga paling banyak, dan tanggung jawabnya juga ikut banyak.

"Sembilan puluh persen sih kak wi."

"Kok bisa gak seratus?"

"Pak Radith gak ngajak nananini. Jadi semalam kurang sepuluh persen lagi sempurna,"

"Asem! Tete busa aja sok mau diajak nananini. Nanti ketahuan palsu baru panik."

Inara menoleh. "Gak papa tete palsu kak Dwi asal jangan cintaku yang palsu."

Dwi menoyor kepala Inara.

"Sudah kerja sana yang baik, nyalain komputer dan bukakan ini invoice."

"Ish, ini masih pagilah. Kita menggibah dulu. Pusing kepalaku kalau gak sharing dosa orang."

"Sudah cukuplah Ra, sudah gak rajin solat, gak pernah sedekah, mengghibah lagi. Gak takut kamu masuk api neraka?"

"Sok tahu betul kamu kak Dwi. Siapa bilang aku gak sedekah?"

Inara menekan tombol power komputer dan memperbaiki letak kursinya yang entah diturunkan siapa.

"Ibadah itu urusan masing-masing kak Wi. Gak perlu diumbar." Inara mendelik kepada Dwi. Inara memang agak sensitive kalau ada yang bahas agama. Hal pribadi itu sangat private.

"Yah, sudah sana. Kerja..."

"Ini juga mau kerja." Katanya cuek.

Padahal setelah window selesai loading dia langsung membuka chrome, dan meredial semua histrorynya. Dia menyegarkan laman situs baca komik dan novel gratis.

Naksir Anak Boss. [ON-GOING]Where stories live. Discover now