•°•August•°•

1.6K 178 192
                                    

Malam setelah konser besar kami, aku terbangun karena perubahan suhu yang tiba-tiba. Rasanya begitu dingin, padahal selimutku begitu tebal dan pendingin ruangan sedang tidak aku nyalakan. Tapi, daripada mengganggu yang lain di tengah malam begini lebih baik aku kembali tidur.

Aku mencoba mengabaikan rasa dingin yang begitu menusuk dengan terus meringkuk di bawah selimut. Dan sekarang rasanya begitu sulit untuk menarik nafas. Rasa nyeri juga mengikuti di setiap gerakan kecil yang aku buat tanpa sadar.

Tak lama telingaku menangkap suara gagang pintu yang perlahan ditarik kebawah, disusul dengan bunyi pintu yang bertabrakan dengan dinding. Meski tidak terlalu kencang tapi suaranya berhasil membuat tubuhku menggeliat tak nyaman.

"Riku, apa kau kedinginan?"

Pertanyaan itu dilontarkan dengan penuh kelembutan dan tersurat kepedulian di dalamnya. Aku hanya bisa mengangguk. Samar, tapi dapat ku kenali bahwa pemilik suara itu adalah Yamato-san.

Aku berusaha mengintip dari balik kabut yang menghalangi penglihatan ku. Yamato-san datang dengan berbekal kaos oblong favoritnya. Jadi sudah jelas, akulah yang bermasalah disini.

"Pakailah ini, kalau kurang aku akan meminta selimut tambahan dari yang lain," ucapnya sambil menggelar 2 selimut lagi diatas selimut milikku. Tapi meski dengan 3 tumpuk selimut itu, aku tak merasakan perubahan berarti pada suhu di sekitarku. Aku bahkan berani bertaruh kalau bibirku saat ini sudah mulai membiru kedinginan.

Telapak tangan besar dan hangat mendarat di keningku. Rasanya nyaman dan menenangkan.

"Riku, kau baik-baik saja?"

Aku mendengar suara Mitsuki, diikuti oleh suara panik Sougo-san yang sepertinya berlari memasuki ruangan. Aku menatap mereka dengan mata yang setengah terbuka.

"Ma-maaf membangun kan kal-ian malam-malam be-begini."

Aku menarik selimut-selimut itu agar menggulung tubuhku. Nafasku tidak beraturan karena kedinginan. Dapat kulihat siluet seseorang mengarahkan inhaler ke mulutku, aku tak bisa menolak. Setelah nafasku mulai tenang, aku kembali memejamkan mata, sulit untuk kembali tidur tapi akan kucoba.

"Sepertinya kita harus meminta manager membatalkan semua jadwal Nanase-san besok."

"Kau benar Ichi. Akhir-akhir ini kondisi kesehatannya menurun."

Aku bisa mendengar suara mereka.  Sungguh aku senang diperhatikan tapi aku merasa bersalah karena selalu merepotkan.

Ketika aku bangun, jam di atas nakas telah menunjuk pukul 5 pagi. Kepalaku pusing dan ruangan ini begitu gelap, membuatku takut saja. Aku mencoba duduk ketika rasa gatal tiba-tiba menyerang paru-paru dan tenggorokanku. Aku berusaha menutup mulut dengan bantal guna meredam suara batuk agar tak membangunkan yang lain.

Tapi ya. Kalian tau pendengaran Iori itu sangat tajam bukan? Makhluk itu sudah ada di depan pintu, mengetuk beberapakali sebelum membuka pintu.

"Nanase-san aku masuk."

Iori masuk dengan cangkir ditangannya. Menyingkirkan bantal yang menutupi wajahku dan membantuku minum.

"Iori, kau."

"Bagaimana aku bisa tidur dengan suara batukmu itu Nanase-san," seolah tau isi kepalaku, bungsu dari keluarga Izumi itu langsung menjawab dengan wajah watados nya yang biasa. Jujurly, itu menyebalkan.

"Maafkan aku."

"Haaah makanya lain kali jangan memaksakan diri!"

"Uhm."

Aku hanya mengangguk. Toh tidak ada gunanya berdebat dengan tuan sempurna ini.

"Istirahatlah, aku akan membantu Nii-san di dapur," Iori keluar dengan menutup pintu sepelan mungkin. Biasanya juga dibanting.

The Last PetalWhere stories live. Discover now