Bab IV

121K 8.6K 82
                                    

Suara detingan sendok dan garpu beradu di piring memenuhi ruang makan. Aku menatap mama yang di seberang meja yang sibuk mengaduk makanan sesekali ia menyuap ke mulutnya. Pasti mikirin Dela lagi.

Aku melirik Rafael di sebelahku yang asik makan. Gara-gara kejadian di kamar tadi bikin aku ngehindar menatap wajahnya. Rasanya malu sekali pengen nyembunyiin wajah kalau bertatapan dengannya.

"Pa" suara mama memecahkan kesunyian kami. "Udah dapat kabar dimana Dela?" Tanya mama yang selalu ditanyakan semenjak Dela pergi.

"Belum ma" jawab papa sambil menghela nafas.

Tiba-tiba mama menghentakan sendok di piringnya dengan keras membuatku diam berhenti makan. "Gimana sih karyawan yang papa sewa kok sampai sekarang belum tau dimana keberadaan Dela!"

"Nanti saja kita bahas, ma" bujuk papa yang sambil melirik ke arah Rafael seakan memberitahu mama kalau ga enak bicara tentang Dela di hadapannya.

"Baik! tapi harus ada perkembangannya ya!"

"Iya" papa mengangguk pelan sambil menghembus nafas berat membuatku juga ikut menghela nafas dan meminum jus di hadapanku.

Aku jadi tidak enak dengan suasana ini apalagi dengan adanya Rafael yang berpura-pura terus makan tidak peduli dengan pembicaraan mama dan papa. Mana Dylan pergi duluan ke kampus  karena ada test pagi ini.

"Ehm!" Papa menarik perhatian kami seakan ingin mengganti topik pembicaraan. Kapan kalian ingin bulan madu?" Tanya papa tiba-tiba membuatku tersedak.

"A,apa? Bulan madu?"

"Nanti, pa" jawab Rafael tenang. "Sekarang sedang ada proyek jadi tidak bisa ambil cuti. Mungkin 2 minggu lagi."

2 minggu lagi?! Dia bercanda kan! Aku menatap Rafael yang balik menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya seakan menantangku kalau keputusannya mutlak.

"Bagus kalau begitu" komentar papa sambil mengesap teh di hadapannya.

"Lebih baik kalian ga usah bulan madu segala. Nanti malah banyak ngeluarin uang buat hal yang ga perlu" ucap mama dengan nada dingin sambil mengaduk sendok di cangkir tehnya.

"Ma, bulan madu kan wajar untuk pasangan pengantin baru. Biarlah mereka bersenang-senang menikmati sekalian mengenal lebih dekat" ucap papa yang baru kali ini membelaku untuk pertama kalinya. Pertama kalinya yang membuatku senang.

"Pokoknya mama ga setuju! Masa mereka senang-senang sedangkan Dela belum di temukan!" Kali ini mama mengentak cangkir yang ditangannya ke atas meja sampai air yang di cangkirnya tumpah.

"Soal Dela tidak ada urusannya lagi dengan pernikahan mereka" bela papa lagi yang membuat mama meledak marah.

"Papa sudah ga sayang lagi sama Dela! Memang ga ada yang pernah sayang sama Dela kecuali mama!" Kata-kata mama menyakitkan hatiku. Meski Dela selalu egois dan membuatku sakit hati tetapi aku sayang dengannya.

Papa menghela nafas pelan. "Papa sayang sama Dela. Tapi ini sudah tidak ada sangkut pautnya masalah Dela dengan Adre dan Rafael. Bagaimanapun Adre dan Rafael sudah suami istri dan mereka berhak senang-senang bahkan bulan madu"

"Tapi pa.."

"Papa minta maaf ya ma. Papa janji akan minta karyawan papa lebih berusaha keras menemukan dimana Dela sekarang" ucap papa lembut yang dapat menenangkan amarah mama.

Mama menganggu pelan tapi matanya menatapku tajam membuatku menunduk.

"Em, pa, ma" suara Rafael mengagetkanku. Aku lupa kalau dia masih ada di sini dan mendengar hal yang tidak nyaman. "Hari ini aku akan bawa Adre tinggal di rumahku" ucap Rafael yang membuatku terkejut lebih-lebih mama yang sampe berteriak.

"Kenapa secepat itu? Kenapa ga tinggal di sini aja" aku tau mama menghalangi kami untuk berduaan tanpa pengawasan darinya.

"Ma" tegur papa membuat mama terdiam. Papa menatap aku dan Rafael dengan wajah tenang. "Ya, lebih baik seperti itu" aku ga percaya. Papa setuju dengan rencana Rafael? Kupikir papa akan seperti mama ngelarang kami pergi.

"Makasih pa" ucap Rafael sambil tersenyum samar. Apa maksud senyumannya itu? Entah kenapa bayangan buruk terlintas dipikiranku. Rasanya aku ga pengen tinggal dirumahnya

*****

"Sini kamu!" Mama menarikku yang baru turun membawa dua ransel besar berisi pakaian dan barang-barang berhargaku termasuk dengan ijasah. Sapa tau aku diizinkan bekerja olehnya. Mama mencengram pergelangan tanganku agar mengikutinya ke ruang makan.

"Awas kamu kalau sampai macam-macam sama Rafael apalagi sampai hamil buat ngejerat dia terus sama kamu!" Ancam mama setibanya sampai di ruang makan yang lumayan jauh dari ruang tengah.

"Ma.."aku manatap mama sedih yang ga dapat kutahan. Rasanya sakit sekali seakan-akan aku bukan wanita yang baik-baik.

"Pokoknya turutin aja perkataan mama!"

Aku menunduk seakan memberontak dalam hati. Aku ga ingin menjadi janda di pernikahan yang baru kujalani apalagi aku hanya ingin menikah hanya sekali dalam seumur hidupku. Daripada tinggal di sini ditekan sama mama, lebih baik tinggal bersama Rafael. Setidaknya hanya dia yang ku hadapi sehari-hari dan aku bisa menghindar dari mama.

"Adre!" Panggil papa datang ke arah kami yang  membuat kami terkejut. Dengan cepat mama melepaskan cengkramannya. "Ayo cepat. Rafael sudah nunggu di depan" 
"Iya pa" ucapku langsung menyeret dua koper besar yang untungnya ada roda dibawahnya sehingga mudah ditarik sampai ke depan rumah. Pak Yoga langsung mengambil dan mengangkat koper-koperku ke bagasi mobil. Sedangkan Rafael berbicara di hpnya menjauh dari kami.

”Pa, Ma aku pergi ya” ingin rasanya aku memeluk papa mama. Meski ini bukan perpisahan kami tapi mulai sekarang aku menjalani hidup baruku sebagai seorang istri. ”Salam buat Dylan ya,”

”Iya nanti papa sampain. Kamu yang harus jadi istri yang baik meski pernikahan ini bukan kehendak kamu ya, Ad. Jangan mempermalukan papa mama” ucap papa yang membuatku menghela nafas. Kupikir tadi papa benar-benar perhatian denganku memberi nasehat yang biasa ku dengar dari om tanteku saat menikahkan sepupuku.  Tapi ternyata hanya nasehat untuk menjaga martabat papa saja.

”iya, pa. Adre akan jadi istri yang baik buat Rafael”

”Ga usah baik juga ga apa-apa” kata mama dengan nada mencemooh.

”Ma!” tegur papa yang kali ini benar-benar kesal. ”Untung Rafael tidak dengar omongan mama”

”Apa sih pa!” mama balik marah ga terima dengan teguran papa karena selama ini papa ga pernah menegur apalagi kesal dengan mama. Yang ku tau, papa selalu menuruti apapun kata-kata mama.

”Pa, ma kami berangkat ya” tiba-tiba saja Rafael sudah berdiri di sampingku membuat kami kaget. Sejak kapan dia sudah ada di sini?

”Oh, iya” papa salah tingkah lalu berdehem menetralkan raut wajahnya. ”Tolong jaga Adre ya, Raf. Kalau dia ada salah tegur saja karena sekarang kamu berhak atas Adre pengganti kami” nasehat papa yang kali ini lebih bijaksana pada Rafael.

”Iya, pa” Rafael mengangguk lalu berjalan mendekati mobil yang sudah dibuka pintu penumpangnya oleh pak Yoga. ”kami berangkat pa” ucap Rafel yang dibalas anggukan oleh papa dan ia masuk ke dalam mobil.

”Pa, ma Adre pergi ya” Kali ini papa menatapku lama lalu mengangguk pelan sedangkan mama menatapku tajam seakan aku harus ingat apa yang ia katakan tadi ruang makan. Aku masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Pak Yoga mulai menjalankan mobil saat aku menoleh ke papa mama, hanya papa yang terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu lalu hanya melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan papa sambil terus menoleh ke arah mereka meski mobil kami mulai keluar dari halaman rumah.

”Ck! Kayak anak kecil aja!” ejek Rafael dengan nada mencemooh. ”ga usah drama queen! Masih tinggal satu kota juga”

”Biarin!” aku duduk menghadap ke depan malas menoleh ke arahnya. ”namanya juga anak cewek. Pasti sedih kalau meninggalkan rumah”

”Tapi kayaknya mereka ga sedih kamu pergi” ucap Rafael telak menusuk hatiku. Membuatku tidak bisa berkata apapun untuk membalasnya. Tanpa terasa air mataku keluar yang langsung ku hapus dengan cepat sebelum dia melihannya. Aku membalikan tubuhku menghadap ke jendela sepanjang perjalanan kami.

*****

AdreanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang