Bab XII

123K 7.2K 45
                                    

Tubuhku terasa lebih baik setelah tiduran di ruang pemeriksaan. "Gimana dok, hasilnya?" Aku menatap dokter cantik bernama Julie, temanku waktu di SD yang tersenyum padaku. Sudah lama aku ga bertemu dengannya. Terakhir saat libur kelulusan kami, sebelum ia pindah keluar kota ikut dengan orang tuanya.
"Selamat. Hasil pemeriksaan, kamu hamil" Julie tersenyum senang sambil menarik tanganku untuk bersalaman.
Aku hamil? Jadi aku benaran hamil? Meski rasanya capek ga bisa bergerak tapi ga bisa menghilangkan rasa bahagiaku. Tanpa sadar tanganku mengusap perut bawahku.
"Kamu harus banyak istirahat. Jangan banyak pikiran apalagi sampe kelelahan. Kandungan kamu masih muda. Masih rawan" nasehat Julie yang akan selalu ku ingat.
"Iya, dok" aku tersenyum ke Julie yang cemberut.
"Masih aja panggil dok. Kita kan temenan. Nyantai aja cuman suster doang yang ada disini"
"Kan biar profesional gitu"
"Profesional apaan. Udah deh sekarang gue mau nanya. Mana suami lo? Istri sakit gini malah ga nemenin"
Kenapa Julie malah ngingatin aku dengan Rafael lagi. Ingat dia jadi ingat lagi kejadian di kantor. Bikin jantungku dag dig dug lagi padahal tadi sudah tenang.
"Lagi sibuk. Dia ga tau aku ke rumah sakit"
"Oh gitu. Gimana kabar Dareen? Masih tinggal ama keluarga lo?"
Dareen? Udah lama nama itu ga terdengar. Sahabat baikku yang selalu membelaku dari siapapun, lebih-lebih dari Adela.
Aku menggeleng pelan. "Udah engga. Terakhir pas dia kuliah ke Cambridge setelah itu ga ada kabar"
"Apa ini ada hubungannya ama Adela? Ngomong-ngomong soal sodara lo, apa kabar dia? Masih sama kayak dulu?" Ucap Julie dengan nada sinis.
"Masih sama" sahutku sambil tersenyum mengingat Julie dan Adela kayak Tom dan Jerry. Suka bertengkar sampai sering mama di panggil ke sekolah. "Dan, setauku Dareen pergi ga ada hubungannya sama Dela. Mungkin setelah bunda meninggal, ga ada yang bisa menahannya di rumah"
Mengingat bunda membuatku rindu sekaligus sedih. Bunda, pelayan di rumah papa mama yang merawat aku dan saudara-saudaraku. Bunda sangat keibuaan membuatku selalu nyaman seperti ibuku sendiri. Sayang, saat aku SMA, bunda meninggal karena kecelakaan. Beliau meninggalkan Dareen saat ia masih kelas 3 SMA.
Papa sayang sekali sama Dareen. Meski bunda sudah meninggal, papa tetap meminta Dareen tinggal di rumah dan membiayai Dareen sampai ingin menyekolahkan dia ke universitas swasta terkenal. Hanya aja, Dareen lebih memilih beasiswa yang ia dapatkan di Harvard.
"Gue kira lo akhirnya bakal nikah ama Dareen. Kan lo lengket banget tuh kemana-mana selalu ngikut dia. Untung aja beda tingkat kalo sama, bisa nempel di kelas juga. Hahaha.. " goda Julie membuatku ikut tertawa.
"Bisa aja. Ga mungkin. Kan aku udah dianggap kayak ade sendiri sama Dareen. Sayang, kami lost contact pas dia kuliah"
"Ehm. Ingat suami lo" lagi-lagi Julie bisa bikin aku tersenyum dan tertawa. Melancarkan aliran darah ke wajah membuatku merona.
"Aku ga perlu diopname kan?" Tanyaku mengganti topik pembicaraan.
"Ga perlu. Tapi ingat, lo harus banyak istirahat dan ga boleh banyak pikiran ntar ngaruh ke kandungan lo" nasehat Julie ga pernah berubah tetap cerewet.
"Lo juga harus minum vitamin dan nanti gue bakal bilang ke Lila buat jadi dokter lo"
Lila? "Lila teman kita?" Aku mengingat teman sebangkuku waktu SD ga kalah jahilnya sama kayak Julie.
"Iya, dia kan sekarang jadi dokter kandungan. Pasti dia senang tau lo jadi pasiennya" 
"ga sabar pengen ketemu dia"
"Besok ya. dia sekarang lagi cuti besok udah mulai masuk. nanti gue antar lo deh ketemu dia " Julie berbalik ke suster yang menyatat kondisiku. "Sus, tolong tebus obat dan vitamin ini, ya" Julie memberikan catatan resep ke suster. 
"Ga usah. Aku bisa sendiri" tolakku ga enak merepotkan orang lain apalagi setelah sekian lama baru bertemu.
"Lo masih sakit. Pucat gini mana tahan buat ngantri di apotek. Udah lo tenang aja. Apoteknya dekat gini. masih kawasan di rumah sakit." tahan Julie membuatku jadi ga enak.
"Tapi pakai uang aku ya" aku mengambil tas yang ada di samping ranjang dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah ke suster.
"Makasih ya sus"
"Sama-sama bu. Saya permisi dulu" ucap suster sebelum pergi dari ruangan.
"Baik banget ya susternya bisa diminta nebusin obat" 
Julie tertawa "Ya, itu resikonya kalau di bawah gue. harus nurutin yang gue mau. kalo ga betah mending cari suster yang baru" 
"dasar, ga berubah dari dulu" tawa Julie semakin keras.
"tapi kan gue ga pernah nyuruh-nyuruh lo" Julie mengelus perut gue. "Jaga kandungan lo, ya?" kali ini suaranya lebih serius.
"Memang kenapa kandunganku?" kenapa Julie bikin aku khawatir gini?
"Masih rawan. sedikit benturan bisa keguguran" aku terdiam mencerna kata-kata Julie. " Lo tau kan gue ga bisa merangkai kata-kata bagus apalagi mutar-mutar kalo intinya toh sama aja. kandungan lo lemah mungkin karena lo banyak pikiran dan stres. kalau ada apa-apa cerita aja ama gue ya" 
Yang dibilang Julie memang benar, aku banyak pikiran. Memikirkan Rafael dan Adela. Belum lagi sakit yang belum sembuh. "Iya. nanti kalau ada apa-apa aku cerita ama kamu"
"Bagus. itu baru namanya temen gue" Julie menepuk pundakku pelan. "Nanti gue antarin lo pulang ya sekalian pengen tau rumah lo dimana"
"Iya" aku tersenyum menerima tawaran Julie tapi hatiku tetap saja khawatir dengan kandunganku.
"Jangan terlalu dipikirin" Julie seakan tau apa yang ada dipikiranku. "Gue udah kasih resep obat buat nguatin tubuh sama kandungan lo. Paling penting, aman buat calon bayi lo" 
"Makasih ya" seenggaknya aku bisa lega dengan kata-kata Julie yang terakhir.  Mama akan jagain kamu sampai kamu lahir. Aku kembali mengelus perutku sambil mendengar cerita Julie mengenang saat kami masih di SD.
*****
”Kamu habis dari mana?” suara Rafael di belakangku. Dengan pelan aku menutup pintu dan menghirup nafas dalam-dalam. Aku membalikkan badanku menghadapnya yang tadinya marah lalu terdiam.
”kamu ga papa?” tanya Rafael mendekatiku.
”Ga papa” aku takut-takut menatapnya. Masih terbayang amarahnya saat di kantor tadi siang.
Eh! Tubuhku terangkat dan di gendong oleh Rafael. ”Rafa?” aku menatap pandangannya yang lurus ke depan dan membawaku masuk ke ruang tengah menuju tangga.
”Kamu tadi habis dari mana?” tanyanya kali ini dengan suara lebih lembut dari tadi.
”habis dari rumah sakit”
Ia berhenti dan menatapku. ”Rumah sakit?” kenapa dia kaget gitu? ”terus apa kata dokter?”
Rafael khawatir. Apa aku kasih tau aja kalau aku hamil? Em, enggak. Aku mau kasih dia kejutan. Menyiapkan hal yang spesial lalu memberitahunya. ”engga kenapa-kenapa. Hanya demam. Sakit yang kemaren masih belum sembuh”
Ia terdiam lama menatapku dengan muram. Lalu wajahnya kembali dingin. “Makanya aku bilang jangan keluar kamar apalagi sampai ke kantor!”
“I,iya. Maaf” kenapa lagi dengannya? Baru aja aku senang sekarang suasananya kembali dingin lagi. Apa dia masih marah dengan yang kulakuin tadi siang? Ah, memikirkan semuanya bikin tambah sakit kepala.
Rafael membawaku ke kamarku bukan ke kamarnya. Padahal aku sangat berharap kalau ia menggendongku ke kamarnya dan tidur bersama.
”Aku akan minta Shila bawa makan malam kamu. Habis itu langsung istirahat, mengerti?”
”Iya. Em, Raf soal tadi siang aku minta maaf” tatapannya membuatku serasa di hukum.
”Jangan lupa minum obat habis makan!” perintahnya tanpa mengucapkan apapun akan permohonan maafku. Ia malah berbalik keluar kamar dan menutup pintu dengan kasar. Dia masih marah. Hah, semoga aja besok amarahnya reda.
****
Tubuhku sudah mulai membaik dari kemaren. Membuatkan sarapan dan wajahku sudah ga pucat lagi. Untung aja obat yang di kasih Julie ampuh. Yah, Meski rutinitas morning sick yang akan terus menyiksaku tidak bisa diobati selama beberapa bulan.
”Ini” aku meletakkan kotak bekal di samping piring Rafael yang sudah selesai sarapan. Kalau Rafael melarang aku membawakannya makan siang, lebih baik aku menyiapkannya sebelum dia berangkat kerja. Menghilangkan peluang Adela ke kantor Rafael. Biar aja aku bertingkah seperti istri yang protektif, cemburuan yang penting Rafael ga dekat dengan Adela.
Rafael melirik dengan tatapan dingin bekal yang ada di hadapannya lalu membaca koran. ”Apa ini? nitipin bekal buat Andre?”
Ternyata amarahnya belum reda. Ia masih marah soal kemaren. Bahkan sekarang malah ga mau ngeliat aku. ”Iya” ucapku sengaja pengen liat reaksinya.
Rafael menatapku tajam lalu melempar bekal yang kusiapkan ke lantai. ”Kenapa kamu buang?” teriakku yang terlalu terkejut bahkan Shila yang membereskan piring di atas meja sampai terdiam.
”Ngapain kamu nyuruh aku bawa makanan untuk Andre?!” Ia bangkit berdiri dengan tatapan ga kalah galak.
”Itu buat kamu!” hilang sudah rasa takutku terganti rasa kesal. Makanan yang udah kusiapkan sia-sia dibuang ke lantai.
Ia hanya terdiam ”terus kenapa kamu tadi bilang kalau ini buat Andre?”
Bicara dengan Rafael sama kayak bicara sama Adela. Harus dengan emosi yang tenang. ”Aku sengaja. Habis kamu tiba-tiba ngaitin sama Andre. Kamu masih marah soal kemaren? Aku kan udah minta maaf”
”Maaf” A,apa? Dia minta maaf? Aku menatap ga percaya pria yang dihadapanku salah tingkah dan berdehem. “Terus aku makan apa siang nanti?” Ia menatap makanan yang tumpah lalu menatapku penuh harap.
Ini sosok Rafael yang manja ya? Kayaknya sesekali harus aku kerjain. ”Ga tau. Pikir aja sendiri” aku pura-pura ngambek.
Ia terdiam lama menatapku. Jangan luluh Ad. ”Apa aku minta Adela yang bawa makan siang nanti?”
Adela? “Ga boleh! Aku siapin sekarang” aku mendorongnya duduk kembali di kursi dan berjalan cepat ke arah dapur.
Ah, kenapa aku ga mikir sampe ke sana ya? Pokoknya jangan sampai Rafael dekat ama Adela. Tapi kenapa jadi aku berubah jahil gini ya? apa karena pengaruh calon baby di kandunganku? Aku mengelus perut bawahku. Pasti calon babyku cowok bikin mamanya berani gini.
*****
Sudah 1 minggu aku menahan berita bahagia pada Rafael. Setiap kali pengen kasih kejutan romantis lalu menyampaikan berita kehamilanku selalu saja gagal oleh Adela. Kemana-mana aku dan Rafael berduaan, selalu ada menganggu kami.
Bahkan saat kami dinner di restauran yang kupesan, sedikit lagi aku ingin mengatakannya ke Rafael, Adela tiba-tiba datang ikut makan malam. Gimana aku bisa ngomong? Mana Rafael melarang aku ke kantornya gara-gara ga pengen aku ketemu sama Andre.

Kalau Adela tukang penganggu utama, Shila lebih parah. Setiap Adela beraksi mengganggu kami, Shila ikut-ikutan. Pernah waktu aku dan Rafael asik berduaan duduk di sofa, Adela tiba-tiba datang duduk di tengah kami. Menggeserku sambil memeluk lengan Rafael. Lalu Shila datang menarik tangan Adela dan mendorongnya. Kupikir, Shila akan mengusir Adela, taunya malah duduk diantara Adela dan Rafael.
Awalnya aku cemburu dengan sikap Shila tapi melihat sikapnya yang akan agresif jika Adela mengganggu aku dan Rafael berduaan, kurasa ia bermasalah dengan Adela. Tapi Kelakuan mereka berdua makin menjadi-jadi sampai bikin kepalaku pusing. Setiap hari berkelahi seperti di kartun cat and dog.
Dan baru kali ini aku melihat ada orang yang mampu mengalahkan Adela selain Dareen. Membuatnya berteriak histeris sampai amarah membuatnya lelah.
”Dasar pembantu sialan!” maki Adela yang masuk ke dalam kamarku lalu duduk di ranjang. “Kenapa lo ga usir aja tuh pembantu?” ia memijit keningnya.
“ga bisa. Yang mempekerjakan Shila kan Rafael. Jadi dia yang berhak” ucapku sambil merajut kaos kaki buat calon babyku di sofa depan kaki ranjang.
”nanti gue rayu Rafael buat mecatin pembantu itu!”
“hmm, iya” sahutku asal-asalan. Lebih baik fokus merajut buat calon babyku. Tumben lama ga kedengar suara Adela. Dia kan bukan orang yang bisa diam.
Aku menoleh ke belakang. ”Ngapain kamu baca itu!” aku berdiri dan menarik lembaran yang ada ditangannya. Lalu memasukan lembaran ke dalam amplop lalu kembali meletakkannya di atas meja di samping tempat tidur.
”Kamu hamil?” Adela menatapku ga percaya lalu menatap perut bawahku. ”ga mungkin” wajahnya pucat pasi.
”Kamu liat sendiri kan surat hasil pemeriksaanku” pasti dia syok mengetahui aku hamil.
”Ga!” teriaknya sambil berdiri. Aku berusaha menjaga diriku takut kalau Adela tiba-tiba menyerang.
”Kamu pikir dengan kamu hamil, Rafael akan bersama kamu?” desisnya meski wajahnya masih pucat.
”tentu saja” aku memeluk erat perut bawahku. Melindunginya dari hal-hal yang menakutkan yang mungkin terjadi.
Ia tertawa meski dibuat-buat membuatku heran. Lalu terdiam menyilangkan tangannya di dada. “aku hamil” ucapnya dengan tenang.
”H,hamil?” Deg! Jantungku serasa ditikam. ”Ga mungkin! Kamu bohong. Gimana kamu bisa hamil? Kamu hamil anak Gery?”
”Jangan pernah sebut brengsek itu!” teriak Adela membuatku terkejut. ”aku hamil anak Rafael!”
Ga! Pasti Adela bohong! “itu ga mungkin! Rafael ga pernah selingkuh! Apa lagi tidur sama kamu!” jeritku ga bisa menahan emosiku.
Ia tertawa mengejek kepercayaanku. ”lo lupa kalau gue pernah keluar dari kamar Rafael? Jauh sebelum itu gue udah sering ke kamarnya dan lo tau sendiri ngapain aja kami di sana”
Tubuhku hampir jatuh ke lantai jika tidak di tahan Shila yang datang tiba-tiba dan memapahku untuk duduk di ranjang.
Aku menatap tajam Adela yang menatapku lama lalu memasang wajah dinginnya. ”tinggalin Rafael”
Aku menggenggam erat tanganku menahan agar tidak menamparnya. ”Ga akan pernah! Kamu yang pergi dari rumah ini!”
Ia terkejut dengan kata-kataku. ”lo ga bisa ngusir gue! Rafael yang punya rumah ini bukan lo!”
Aku tersenyum dan membalasnya dengan tatapan dingin ”Aku istri Rafael. Semua milik Rafael juga milikku. Dan kalau kamu lupa, aku nyonya di rumah ini”  Aku berdiri meski punggungku sakit dan kakiku masih lemas.
Aku mengangkat daguku bertatapan dengannya. ”Shila bereskan barang-barang Adela dan bawa dia keluar!” perintahku yang dibalas teriakan protes Adela. Telingaku seakan tetutup dengan semua ucapan dan makian darinya.
Shila mendorong paksa Adela keluar dari kamarku dan menutup pintu. Aku langsung jatuh terduduk. Yang kamu lakuin udah benar, Ad. Aku meyakinkan diriku. Menghilangkan rasa bersalah karena mengusir Adela dengan cara seperti ini.
”Liat aja, Dre! Lo bakal ngerasain hinaan yang lo lakuin ke gue!!” teriak Adela di luar pintu kamarku. ”Lepasin gue!” jeritnya yang perlahan semakin menjauh.
Aku udah ngelakuin hal yang benar. Dan aku yakin Rafael ga tidur dengan dia. Itu hanya akal-akalan supaya aku dan Rafael berpisah meski aku hamil. Dia pasti ngelakuin hal apapun bahkan berbohong demi mendapatkan apa yang ia inginkan.
Tenang, Ad. Jangan terpengaruh dengan ancaman Dela.  Dia ga mungkin melakukan tindakan sampai ke aksi kriminal kecuali.... mama.
Ah, pasti dia menggunakan mama. Aku menarik nafas panjang. Apa yang akan ia ceritakan ke mama? Aku harus bersiap menghadapinya nanti.
*****

AdreanaWhere stories live. Discover now