20. Kebenaran

85 20 0
                                    

"Assalamu'alaikum."

Sapaan dari arah belakang sukses membuat Arumi membelalakkan matanya. "Astaghfirullah! Wa-wa'alaikumussalam. Farhan!" jerit Arumi.

Yang dipanggil malah tertawa bahagia. "Kaget banget, Ukhty. Kemarin aku bawa mobilnya resepkan. Iya dong, Farhan." Sambil merapikan topinya, Farhan bergaya kece.

Arumi geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan kawannya satu ini. "Eh, kamu lihat Karin enggak? Mau pulang bareng akutuh," tanya Arumi sambil celingak-celinguk ke arah parkiran.

Farhan juga ikut menilik ke sana kemari mencari batang hidung Karina tetapi tidak ada. "Mungkin sudah pulang? Aku enggak tahu, Rum."

"Mau aku yang antarkan?" tawar Farhan.

Melihat Farhan yang bergaya ala sok keren. Arumi mengindahkan. "Makasih! Naik angkot weh," tolak Arumi dengan halus.

Farhan membentuk bibirnya seperti moncong bebek. "Yah ... okedeh. Tapi, Rum. Aku mau nanya boleh?" Kali ini raut wajah Farhan berubah menjadi serius. Arumi ikut penasaran dengan apa yang akan ditanyakan oleh Farhan ini. "Sok mau tanya apa?"

"Kamu jangan marah tapi," pinta Farhan lagi.

"Iya-iya. Nanya apa sih?"

"Dari awal kamu masuk sekolah sini. Aku perhatiin kamu selalu pakai masker ... memangnya ada apa? Kamu lagi sakit?" Sudah lama sekali Farhan ingin menanyakan hal ini. Dan ... hari ini setelah pulang sekolah, akhirnya pertanyaan itu terlontarkan juga.

Deg ....

Arumi tertegun mendengar pertanyaan Farhan. Ia memikirkan harus menjawab bagaimana dan apa. Terdiam beberapa saat, sampai Farhan kembali berucap, "Ah, kalau enggak dijawab juga enggak pa-pa. Sudahlah anggap tadi itu angin lalu saja," ungkap Farhan sambil mengibaskan tangannya ke udara.

Arumi jadi diam saja. Timbul perasaan tidak nyaman di antara keduanya. Sampai ketika, angkot yang sering ditumpangi Arumi datang.

"Neng! Naik angkot moal?" tanya Sopir angkot kepada Arumi.

Lamunan Arumi terbuyarkan. "I-iya, Bang. Aku duluan, assalamu'alaikum," pamit Arumi sambil menunduk. Angkot Arumi pun melaju membelah jalanan.

Farhan berdecak sebal dengan dirinya sendiri. 'Kenapa kamu tanyain sih! Kan jadi gini, Farhan-Farhan,' gerutunya sendiri dalam hati.

Dalam angkot pertanyaan Farhan memang terngiang-ngiang dipikiran Arumi. Pertanyaan Farhan benar, ia terus menutupi segala kekurangannya. Arumi mengepalkan kedua tangannya. Ia bertekad, suatu hari nanti pasti akan memberanikan diri untuk menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia apa adanya.

Kita memang sering ingin menunjukkan kelebihan diri sendiri. Sampai lupa, apakah kita pernah jujur pada diri sendiri. Langkah pertama Arumi adalah mempercayai diri sendiri dan jujur pada hati sendiri.

~▪︎ Arumi Khairunnisa ▪︎~

"Kamu harus kasih tahu Arumi!" Yusuf meninggikan suaranya.

"Tapi, Mas. Aku enggak mau Arumi sakit hati! Tunggu waktu yang pas baru aku kasih tahu Arumi." Zulaiha juga balas meninggikan suara.

Keduanya sama-sama keras. Menurut Yusuf Arumi memang harus tahu kebenaran yang disembunyikan. Tapi, setiap manusia pasti berbeda pemikiran. Zulaiha sang istri menginginkan nanti saja mengisahkan yang sebenarnya, dengan alasan mencari waktu yang tepat.

Yusuf mengatur napasnya. Sebagai seorang suami ia tidak boleh lepas kendali, apalagi sampai membentak istri. "Sayang, dengerin mas." Yusuf mengenggam erat tangan Zulaiha. "Kalau kita nunggu waktu yang tepat terus, kapan Arumi tahu yang sebenarnya. Kita harus meluruskan, tentang Arumi siap atau tidak. Aku tahu Arumi pasti selama tinggal di sini ia pasti merasa bingung. Aku tahu aku salah, dari awal tidak terlalu mengakrabkan diri dengan Arumi. Itu karena ... aku tidak nyaman berada di dekatnya sementara rahasia sedang menyelimuti pikiranku." Penjelasan Yusuf secara panjang lebar. Ia sudah lelah menyimpan rahasia ini selama belasan tahun.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang