03. Pohon Mahoni

228 53 120
                                    


Di bawah pohon mahoni yang lebat dengan biji buahnya yang menjuntai. Lima orang remaja sedang bercengkerama menikmati kebersamaan mereka. Reza dan Rio berada di samping Ezra yang tengah menduduki sepeda berwarna hijau stabilo. Sedangkan Nabila dan Melya berdiri menghadap sahabat cowoknya. Ejekan, hujatan, dan pujian melengkapi pagi mereka yang sedari tadi menunggu sahabat satunya yang 'tak kunjung datang.

Gadis berseragam putih abu-abu mengayuh sepeda dengan kecepatan tiga kali lipat dari biasanya. Dari arah kanan, ia akhirnya menampakkan batang hidungnya. Sahabat yang sudah menunggu kedatangannya sontak menoleh bersamaan.

Dengan sigap Melya berlari ke tengah jalan dengan merentangkan kedua tangannya. "Stoop!" teriak Melya diiringi rasa kaget melihat Arumi melaju dengan sangat cepat.

"Aaaaa ...." Melya berteriak histeris sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.

"Lho, kamu kenapa?" tanya Arumi menahan tawa.

Sahabatnya yang lain tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Melya seakan berhadapan dengan truk yang mengalami rem blong. Melya mengintip dari celah jari, dilihatnya sepeda Arumi berhenti agak jauh dari dirinya.

"Alhamdulillah selamat. Jantungku hampir copot ih," ujar Melya mengusap dadanya.

"Hehe, afwan sohibku," sahut Arumi.

Arumi menstandarkan sepeda lalu menghampiri manusia lain di bawah pohon mahoni itu. Ezra turun dari sepeda sambil melihat ke arah jam di tangannya.

"Ekhem, kamu dari mana, Rum?" tanya Ezra lembut.

"Aku tadi nganterin pesanan Ummi Dita dulu sama Nenek, soalnya barangnya lumayan banyak. Kasian kalau Nenek antar sendiri, berat," jelas Arumi, ia merapikan pakaian yang semrawut akibat ngebut tadi.

"Berat, kayak rinduku sama dia, hiks."

Ucapan Reza yang spontan membuat kelima sahabatnya bersorak.

"Yang berat itu bukan rindu, tapi istiqomah dalam kebaikan, melangkahkan kaki ke majelis ilmu, sakaratul maut apalagi," jelas Arumi dengan tampang serius.

"I-iya, Ukhty." Reza tersipu malu.

"Sudah-sudah, maaf ya menunggu lama. Mau berangkat sekarang atau mau nunggu dijemur terus keliling lapangan sama Pak AB?" tanya Arumi seraya mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya.

Setelah Arumi mengakhiri perbincangan, masing-masing mengambil alih sepedanya. Kecuali Melya, ia bisa memilih dibonceng Arumi, Nabila, atau bahkan membonceng antara keduanya.

Lima sepeda itu menyusuri jalan bebatuan yang sedikit teraliri oleh air sawah. Sudah biasa bagi warga sana berjalan ataupun berkendara dalam jalanan yang merupakan tantangan bagi pendatang dari kota, yang terbiasa dengan jalan raya yang mulus.

Merpati berdekut di atas pohon sekeliling rumah warga, menyambut Arumi dan kawan-kawan sedang bersepeda menuju sekolah. Apapun bisa menjadi teman mereka seperti ternak sapi mbah Kumis, peliharaannya adek Nisa dan tumbuhan.

Keenam sahabat karib itu damai dengan alam juga dengan sesama makhluk hidupnya.

"Gas, kuy!" teriak Nabila dari depan.

"Huhuy!" sahut Rio tak kalah gembira.

~▪︎ Arumi Khairunnisa ▪︎~

Gerbang berwarna hitam kecokelatan terbuka lebar, masih ada waktu lima menit untuk petugas mengetuk bel masuk. Satpam yang mematung menjaga gerbang tersentak mendengar suara putaran ban lima sepeda masuk tanpa menarik remnya sedikitpun.

"Assalamu'alaikum, Pak," sapa mereka seperti angin lewat.

"Astaghfirullah." Pak Riziq menggelengkan kepala. "Eh, wa'alaikumussalam," jawabnya dengan nada tinggi namun tetap santai, itulah Pak Riziq.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Where stories live. Discover now