07. Apel

124 25 2
                                    

Sudah beberapa hari Arumi mengemban pendidikan di sekolah barunya. Walaupun agak berbeda dengan sekolahnya di desa, tetapi ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolah yang baru.

Terlebih suasana di kota Garut juga membuat Arumi nyaman dan betah. Pemandangan di sekitarnya yang menakjubkan, ditambah hubungan sosialnya juga lumayan walaupun tidak sekental di Desa Cempaka Indah.

~▪︎ Arumi Khairunnisa ▪︎~

Selepas sarapan, Yusuf keluar untuk menghangatkan mesin mobil. Sebentar lagi Arumi berangkat sekolah. Arumi sedikit bertanya-tanya dengan siapa ia akan berangkat, namun bibirnya 'tak mampu berucap, baik kepada Zulaiha sebagai ibunya, maupun Yusuf yang sedari awal bertemu tidak berusaha mengakrabkan diri dengan anaknya yang baru datang. Jadi, Arumi masih merasa canggung.

Di meja makan, ibu dan anak hendak cuci mulut sehabis melahap hidangan pagi ini. Zulaiha memasak makanan kesukaan Arumi setelah bertanya kepada ibu dan bapaknya di desa tentang apa yang disukai dan tidak disukai Arumi. Arumi pun tentu menyukai masakan dari ibunya.

"Nak, ibu dengar dari ibu-ibu tetangga yang anaknya satu sekolah sama kamu, kamu sering dipuji sama guru, ya," ujar Zulaiha seraya mengupas apel merah segar.

"Enggak sering juga, Bu," sahut Arumi yang tengah memperhatikan Zulaiha.

"Semoga tetap seperti itu. Kamu harus bisa membanggakan ibu sama bapak. Kalau nenek sama kakek tahu, mereka juga akan senang dan ikut bangga." Zulaiha mengasongkan sepotong Apel di depan mulut Arumi.

"In syaa Allah, Bu."

Arumi melirik apel yang sudah berada di depan mulutnya itu. Sebenarnya Arumi tidak ingin memakannya karena harus menurunkan dulu maskernya ke dagu. Namun, ia tidak ingin melihat senyum perempuan di depannya memudar karena mendapatkan penolakan.

Arumi memberi celah di bibir merah mudanya lantas Zulaiha memasukkan potongan apel itu. Sambil mengunyah, Arumi memberi senyuman tulus. Ia semakin merasakan kasih sayang dari sang ibu, tinggal ayahnya yang belum menampakkan cintanya.

"Mah, kita berangkat sekarang," ucap Yusuf dari ambang pintu.

Zulaiha hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Yaudah, sekarang kamu ambil tasnya. Ibu sama bapak tunggu di mobil," titah Zulaiha.

"Baik, Bu."

Arumi sedikit berlari menuju kamar. Ia menyambar tas dengan kolaborasi warna abu-abu dan merah marun itu di atas meja belajar. Selayang ia melirik buku tebal bertuliskan 'Sirah Nabawiyah' bersama tumpukan buku agama lainnya. Teringat kakeknya yang sering duduk di kursi sambil membacanya setiap Arumi pulang sekolah.

Arumi mengusap buku itu. "Astaghfirullah, ibu sama bapak kan sudah menunggu di bawah," gumamnya.

Arumi melewatkan anak tangga dengan singkat. Untung saja, Yusuf dan Zulaiha tidak mengomel.

Seperti biasa, di perjalanan Arumi tidak mengangkat bicara. Sudah lumrah ia hanya memandangi jalanan dari balik kaca mobil. Tidak aneh jika bertemu dengan angkutan umum dan truk. Yang membuat Arumi tertarik lagi-lagi kendaraan yang pertama ia lihat setiba di Garut, yaitu delman dan becak.

Zulaiha bertanya ini itu membuat Arumi mengalihkan pandangan menuju lawan bicara. Tetapi, setelah topiknya habis, maka suasana pun akan kembali tanpa perbincangan. Dan Yusuf? Ia fokus menyetir, sesekali menjawab pertanyaan dari sang istri yang duduk di belakang bersama Arumi.

Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di sekolah.

"Bu, Pak, Arumi masuk ya. Assalamu'alaikum," ujar Arumi seraya membuka pintu mobil.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>حيث تعيش القصص. اكتشف الآن