30. Akhir

283 38 171
                                    

Happy Reading :)

.

.

.

"Alhamdulillah, akhirnya kita kumpul lagi seperti dulu," ucap nenek bahagia. Beliau sangat amat senang ketika rumah yang sepi itu kini ramai kembali karena didatangi oleh kepulangan cucu sekaligus menantu dan anaknya.

Nenek Arumi bingung melihat seorang remaja yang asing bagi beliau. "Itu yang ganteng, nama kamu siapa, Nak?"

Lihat. Seorang nenek-nenek saja mengakui ketampanan Farhan Rifatul Mubarak, memang sepertinya Farhan ditakdirkan memiliki wajah yang tampan. "Iya, Nek. Ganteng banget," sambung Melya yang tidak henti-hentinya sedari tadi memandangi Farhan.

"Farhan Rifatul Mubarak, Nek. Panggil saja Farhan," sahut Farhan dengan suara baritonnya yang syahdu.

"Sst. Rum, ini kok ganteng banget, kamu nemu dimana?" bisik Melya pelan-pelan.

Arumi tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Tapi tidak apa, Melya tidak kesal sebab dengan memalingkan wajahnya ke depan saja, sudah terobati oleh rasa kesal yang ada.

"O, Nak Farhan, ya. Kamu ke sini mau ngelamar Arumi?" Seketika suasana menjadi tenang, mereka semua terpaku mendengar pertanyaan nenek. Terlebih Arumi yang sudah terlihat seperti kepiting rebus, wajah Arumi kelihatan sekali malunya sebab ia tidak mengenakan masker lagi.

"Ne-nenek bisa aja. Ini sahabat baru Arumi waktu di kota," jelas Arumi perlahan sambil mengambil segelas air.

Menghilangkan suasana yang kikuk, Zulaiha bertepuk tangan untuk mengalihkan atensi dari rasa canggung itu. "Nah! Kalian semua ayok siap-siap. Kita makan bareng di dekat kebun pisang kakek, ayok!"

Yang muda lekas berdiri mengambil peralatan seperti tikar, alat memasak lainnya, serta bahan-bahan dapur.

Saat yang lain sedang sibuk mengambil perlengkapan. Terlihat Farhan yang menghampiri Arumi, seraya berkata, "Rum, semua keluarga sudah setuju, kumaha Neng, mau?" candaan maut Farhan kembali berulah.

"Farhan, bercandanya jangan kelewatan dong. Kan ada batas suci." Arumi juga ikut larut dalam guyonan Farhan tersebut.

Melihat Ezra di depan, Arumi melangkahkan kakinya lebih dulu dari Farhan. "Yah ... ditinggal," gumam Farhan dengan nada lirih.

Tap!

Sekarang bahu Farhan ditempeli oleh sesuatu, ternyata itu tangan kakek Arumi. "E-eh!? Kakek, ngagetin aja," ujar Farhan sambil mundur beberapa langkah agar tidak membelakangi kakek.

"Kamu sama cucu kakek berteman atau apa? Kalian terlihat akrab sekali." Kakek mulai curiga dengan pemuda yang baru dikenalnya ini. Beruntung Farhan orangnya bisa berbaur, jadi dia santai saja jika ditanyai apapun itu, kecuali pertanyaan yang dilontarkan nenek Arumi tadi. Sepertinya Farhan tidak bisa santai dengan itu.

"Saya sama Neng Rumi sudah lama berteman, Kek. Semenjak Arumi pindah ke kota dan bersekolah di sekolah saya," tutur Farhan lembut.

Kakek manggut-manggut, kemudian berucap, "Kakek kaget loh, sekarang Arumi sudah berani menampilkan wajahnya ... pasti banyak yang dilalui Arumi sewaktu di kota."

Perasaan orang tua memang tidak akan salah, buktinya apa yang dikatakan kakek itu, adalah kebenaran yang tidak dapat dibohongi. "Benar, Kek. Arumi memang banyak sekali melalui cobaan di kota."

Kakek dan Farhan sama-sama diam. Memandang Arumi di depan yang tampak bahagia bercengkerama dengan Ezra.

"Halo Ezra! Apa kabar?" sapa Arumi kepada teman sedari bayi itu.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Donde viven las historias. Descúbrelo ahora