09. Tumpahan Pop Ice

104 24 0
                                    

~▪︎ Arumi Khairunnisa ▪︎~

.

.

.

"Yuk. Masih muat, Neng," ajak sopir angkot menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah.

Arumi berharap bisa duduk di depan. Tetapi, untuk dapat angkot saja susah. Ia terpaksa masuk ke dalam walaupun harus menyempil di antara dua orang dengan berat badan sekitar 80-90 kilogram.

Pagi ini Yusuf tidak bisa mengantar Arumi ke sekolah. Jadi, Arumi harus berdesakan bersama ibu-ibu yang pulang dari pasar subuh. Segunung belanjaan memenuhi angkot membuat Arumi merasa kurang nyaman. Si sopir tidak bisa diajak kerja sama, mobilnya malah banyak berhenti. Mengganti beberapa jenis penumpang dengan aroma yang berbeda-beda.

Aroma badan meruak menembus kain yang menutupi indera penciuman Arumi. Tanpa dikira, jutaan air jatuh ke permukaan bumi. Beberapa orang memilih berlarian masuk ke dalam angkot. Sia-sia parfum yang disemprotkan Arumi tadi, terkalahkan oleh parfum alami dari mereka.

"Neng, kunaon panangan na ngadegdeg kitu?" tanya seorang perempuan paruh baya yang duduk bersebrangan dengan Arumi.

"Maaf, saya pindahan, Bu. Jadi, belum bisa menguasai bahasa Sunda. Ngadegdeg itu apa?" tanya Arumi tersenyum kikuk.

"Uluh, kutan teh. Ngadegdeg itu gemeteran," jawab perempuan itu dengan ramah.

"Ooo, iya. Soal nya saya takut kesiangan, Bu."

Suasana angkot yang sedari tadi bergeming karena mereka saling asing, tiba-tiba sedikit riuh setelah ibu-ibu berdaster masuk bersamaan dengan bibirnya yang menggerutu. Ia mencuri perhatian mereka di dalam kendaraan roda empat itu.

"Kunaon, Teh?" tanya seorang pria tua.

"Si Kitty acan dibere nyatu. Ari angkot itu meni hararese, nya hujan!" geramnya seraya membereskan belanjaan berkantong kresek.

Yang lain menatap tidak mengerti. Sedangkan yang ditatap nya tidak menggubris penumpang lain.

"Bu, 'nyatu' itu apa?" bisik Arumi kepada ibu tadi yang mengobrol dengannya.

"Nyatu itu artinya makan, tapi untu-"

"Kiri, Mang," potong Arumi melihat ia sudah tiba di depan sekolah. "Aku duluan ya, Bu. Assalamu'alaikum," pamit Arumi.

Tiga menit lagi gerbang akan ditutup. Untung Arumi tiba tepat waktu. Ia berjalan menyusuri koridor sambil menatap ke bawah. Cibiran dari orang yang ia lewati masih saja menjadi topik pembicaraan mereka. Masih pagi sudah disajikan dengan gunjingan.

Kelas sebelas IPA dua lumayan jauh dari gerbang. Arumi berlari di bawah hujan untuk mencari jalan yang teduh sambil mengejar waktu yang ia habiskan di perjalanan. Dengan napas terengah-engah, Arumi akhirnya tiba di koridor. Setidaknya ia bisa berjalan dengan tenang.

"Masa jadi teman ketua OSIS datangnya kesiangan. Malu dong," sindir seorang perempuan di depan kelas IPS.

"Punten, jalannya jangan di koridor. Sepatunya kotor tuh," ucap orang yang berbeda dari belakang. Perkataannya seperti sebuah sindiran.

Arumi tidak mengindahkan ucapan mereka. Tetapi, usai mendengar yang terakhir, ia lihat jejak sepatunya dari belakang. Arumi menepuk pelan keningnya. Karena tidak mau membuat kotor lantai, Arumi akhirnya meniti jalan di luar koridor. Paling tidak ia masih terlindungi oleh atap.

Suara bel masuk berbunyi membuat Arumi melongo. Ia harus melewati beberapa kelas lagi dengan jurus sepatu super. Seragam putih abu-abu sedikit kusut tidak beda jauh dengan 2R, Rio dan Reza. Tidak masalah, ia bisa merapihkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah tiba di kelas sebelum guru masuk.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Where stories live. Discover now