21. Alun-alun Garut

91 19 2
                                    

Ingin rasanya lari dari kenyataan. Arumi ingin pergi barang sesaat, ia ingin keluar dari rumah ini.

Bibirnya tidak mampu tersenyum setelah mengetahui kebenaran tentang Yusuf. Ia tidak bisa fokus nugas atau berkegiatan lain. Mungkin saatnya Arumi pergi ke tempat dimana ia ingin mengunjunginya saat pertama menginjak kota Garut.

Kota yang memberi kehidupan baru bagi Arumi. Tempat Arumi merasakan suka dan duka. Bahagia karena berteman dengan dua orang yang mewarnai hari-harinya dan menderita karena ulah mereka yang membencinya. Dan sekarang, Arumi gundah karena harus menerima kenyataan pahit.

Tama menatap sendu gadis yang tampak murung itu. Arumi keluar dari kamarnya tanpa menyapa Tama terlebih dahulu. Tiba-tiba kucing itu berlari membuntuti sampai lehernya nyaris kejepit pintu saat Arumi hendak menutupnya.

"Astaghfirullah!" ucap Arumi menyadari hal itu. Ia menurunkan badan untuk berbicara dengan Tama.

"Maaf, aku harus pergi keluar dan ninggalin kamu dulu, Tama. Masuk, ya."

Dengan berat hati Arumi mendorong pelan Tama ke dalam. Kucing itu mengeong ingin ikut kepada sang pengurus. Dengan singkat Arumi menutup pintu kamarnya karena ia yakin Tama akan terus mengikutinya. Di bawah, Zulaiha masih termenung memikirkan putrinya. Arumi hadir di depannya untuk meminta izin.

"Bu, aku izin keluar."

"Mau kemana, Nak? Ibu tahu kamu lagi sedih, tapi jangan sampai membahayakan diri kamu dengan pergi keluar sendiri. Lebih baik kamu di rumah dulu, Nak Rum," jelas Zulaiha mendekati Arumi.

"Ibu enggak perlu khawatir. Arumi akan baik-baik saja. Assalamu'alaikum," pamit Arumi sebelum mendapatkan persetujuan.

Arumi sudah hilang saja ditelan pintu. Zulaiha harap-harap cemas. Zulaiha tahu bahwa Arumi belum begitu mengenal tempat tinggalnya. Jika anaknya pergi jauh dan kehilangan arah bagaimana? Zulaiha segera membuang pikiran buruk itu, membiarkan Arumi menenangkan diri, dan lebih baik berdo'a agar Arumi tetap dalam lindungan-Nya.

Di pinggir jalan, Arumi berdiri lesu seperti tidak ada semangat hidup. Ia hanyut dalam lamunan sembari menunggu angkot yang rela berhenti dengan sendirinya. Bagaimana tidak, sedari tadi Arumi hanya mematung hingga 'tak sadar ada beberapa angkot yang ia abaikan ajakannya dengan tidak menyahut para sopir.

"Ah, iya!" sahut Arumi spontan ketika suara klakson mobil di depan membuyarkan lamunan.

"Di depan saja, Neng. Lagi ada borongan jadi gak bakal muat," ucap sopir seraya membukakan pintu mobil dari dalam.

Penglihatan Arumi menyelidik. Benar saja, tidak ada tempat duduk yang tersisa untuk satu orang pun. Untuk pertama kali Arumi duduk di depan. Berdampingan, berdua bersama pria masih muda yang menyetir. Semilir angin jalanan mencoba menenangkan atma. Dan Mang sopir malah menambah getir suasana hati Arumi.

"Masih sekolah, Neng?"

Arumi yang tidak ingin bicara terpaksa membuka mulut agar tidak di vonis sombong oleh pemirsa di belakang. Bagaimanapun suasana hatinya, Arumi tidak boleh terlihat sedang sedih di hadapan orang.

"Iya."

"Pantesan aja belum kelihatan tua," celetuk sopir selayang memperhatikan Arumi.

Tidak ada tanggapan. Tidak ada selera untuk mengamati apa-apa yang dilewati apalagi berkomunikasi dengan orang tidak penting. Benak Arumi saat ini hanya memikirkan hal tadi. Netranya terus saja memandang lurus ke depan sampai tidak sadar pria di sampingnya curi-curi pandang. Pria itu melontarkan beberapa pertanyaan tidak penting demi mendapatkan respons dari Arumi.

"Neng geulis kok sendiri aja?" tanya sopir masih tidak mau diam.

Perasaan tidak nyaman mulai singgah karena sopir itu mencerocos dari mulai Arumi duduk. Apalagi setelah mendengar kata 'geulis' dan melihat matanya yang jelalatan. Arumi menerka jalan menuju alun-alun masih lumayan jauh. Tetapi, ia ingin tenang dengan tidak meladeni orang asing seperti pria itu.

Arumi Khairunnisa <TAMAT>Where stories live. Discover now