[01] Satu Atap

675 93 12
                                    

Stepbrother!

•••

Bagaimana rasanya tinggal satu atap dengan gebetanmu? Senang? Atau malah risih? Haha, mungkin tidak keduanya karena kalian tidak pernah mengalaminya, ya?

Kalau Sheila, jujur saja dia sangat senang. Setiap sarapan, makan siang, makan malam, berangkat dan pulang sekolah—selalu melihat wajah Rangga yang tak pernah bosan tampan.

Sudah satu minggu, mereka menjadi saudara tiri. Sebenarnya Sheila dan Rangga itu satu angkatan, namun si Rangga lebih tua satu tahun dari Sheila. Gadis itu masuk SD terlalu cepat—saat berusia 5 tahun lebih dua bulan. Jadilah ia bisa seangkatan dengan Rangga.

Sheila sudah tahu kenapa Rangga bisa mengenalnya. Katanya, dia pernah melihat Sheila saat diberi penghargaan atas kemenangannya di lomba silat tingkat kota.

Sheila baper, doinya kenal dengan dia. Ah, lupakan perasaan itu, La. Dia sekarang saudara tirimu.

Oh iya, kamar mereka bersebelahan, lho. Namun, Sheila tidak suka dengan fakta itu. Karena demi apapun, Rangga ini berisik—bukan, game-nya yang berisik. Itu mengganggu Sheila yang sedang belajar. Dia ingin menegur, tapi tidak enak dan—gugup.

Ah, kelas mereka juga berbeda. Sheila di kelas unggulan satu, dan Rangga di kelas buangan ketiga. Miris, berbanding terbalik. Itulah fakta yang juga tidak disukai Sheila, gebetannya itu bodoh.

Tentang status, puji syukur keduanya single. Mungkin minggu depan bisa debut mengeluarkan album.

Waktu pertama kali mereka berangkat sekolah bersama, itu sangat pagi hingga tiada murid lain kecuali mereka. Sheila sengaja, ia belum bisa bercerita dengan teman-temannya.

Dan sekarang, keduanya sedang berboncengan menyapu jalanan Neo City yang sudah berpayungkan swastamita. Itu indah dan romantis—sayang sekali, mereka hanya keluarga tiri.

Sheila meringis dalam hati. Mungkin memang belum jodoh.

“Dek, kakak pengen cilok. Kamu mau, gak?” tanya Rangga, sedikit berteriak.

Sheila berdeham sebentar, menetralkan perasaannya yang makin meletup-letup seperti kacang goreng. Gadis itu paling lemah kalau sudah dipanggil dengan sebutan ‘Dek' oleh oknum yang sedang memboncengkannya ini.

“Gimana, dek?” tanya si Rangga lagi, dan hanya mampu dibalas anggukan kepala oleh Sheila.

“Apa? Kakak gak denger?!” Sheila menghela napas, dari nada bicaranya—kakak tirinya ini sedang menggodanya.

“Iya, kak!” Tepat setelah jawaban dari Sheila keluar, motor Vario 150 milik Rangga berhenti di depan gerobak cilok langganan mereka.

Iya, mereka. Sheila terkadang sengaja membeli cilok di sini untuk melihat Rangga dengan jarak dekat. Miris, tapi pernah romantis. Saat itu, Sheila hendak mengembalikan botol saos ke tempatnya—tapi sedikit sulit. Lalu, secara kebetulan, Rangga hendak mengambil botol saosnya, dan tanpa sengaja—tangan Rangga menyentuh tangan Sheila.

Klasik dan biasa saja, tapi sukses membuat Sheila hampir menyatu dengan tanah—melebur.

“Kakak sering liat kamu beli di sini. Belinya lima ribu, gak pake kuah, kecapnya banyak banget,” ucap Rangga dengan tiba-tiba, membuat Sheila sedikit terkejut.

Mereka sedang duduk di bangku yang telah disediakan, mengantri soalnya. Sheila berdeham, lalu bergumam mengiyakan. Gadis itu kembali salting. Jadi selama ini, Rangga memerhatikannya? Argh—rasanya Sheila ingin menyublim saja.

“Kamu gak suka pedes, ya?” tanya Rangga lagi, lalu diiyakan lagi oleh Sheila.

“Na—nanti pake kecap aja, bunda marah kalo aku makan saos,” ucap Sheila dengan gugup. Ia merutuk dalam hati, memalukan sekali.

“Iya. Waktu itu kakak pernah liat kamu masukkin saos, tapi dikit banget. Oh iya, maaf ya waktu itu gak sengaja pegang tangan kamu. Kegeplak gak sih?” Rangga ini, banyak bicara ya ternyata.

“Enggak, kak.”

“Malah aku seneng banget sampe mau meninggaaaaal!!” lanjutnya dalam hati.

Rangga mengangguk, lalu memesan 4 bungkus cilok setelah gilirannya. Sheila hanya menunggu, aslinya dia sudah lelah. Habis tempur dengan soal ulangan kimia, dia ingin langsung tidur saja. Tapi Rangga mengajaknya, ia tak bisa menolak.

Setelah pesanan Rangga siap, barulah mereka kembali menaiki motor dan melaju menuju rumah. Oh iya, mereka tinggal di rumah ayah Juna dan rumah bunda Leana dijual.

Sekiranya 10 menit, mereka sampai di depan pelataran rumah. Rangga memarkirkan motornya di bagasi, sedangkan Sheila langsung masuk setelah melepas sepatunya.

Keadaan rumah sepi, Sheila menghela napas dan menghempas dirinya di sofa. Ia benar-benar lelah, kamarnya di lantai dua—malas saja naiknya. Besok, minta bunda pasang elevator saja, ya.

“Dek, kalo mau tidur, pindah ke kamar aja. Nanti badannya sakit kalo tidur di sofa,” ucap Rangga sambil berjalan kearah Sheila dan meletakkan bungkus plastik itu di meja.

“Aku males naik tangganya kak. Capek banget hari ini,” jawab Sheila setengah sadar. Puji syukur dirinya tidak gugup lagi saat ini.

Sret!

Eh?

Sheila yang tadinya ngantuk-ngantuk tanggung, sekarang sadar seketika. Jantungnya kembali marawisan. Apa-apaan si Rangga ini?! Dia seenaknya menggendong Sheila ala pengantin menuju kamarnya.

Sebentar, ia tidak bermimpi ‘kan? Tolong sadarkan dia.

“Ganti baju dulu, dek.” Rangga merebahkan tubuh Sheila dengan sangat pelan di atas ranjang. Gadis itu hanya mampu mengangguk dengan kaku.

“Abis ganti baju, tidur aja. Nanti pas bunda sama ayah pulang, kakak bangunin,” ucapnya begitu lembut—seakan permisi dulu sebelum masuk ke gendang telinga Sheila.

“Istirahat yang cukup. Kakak tinggal, ya?” ucapnya, lalu pergi dari kamar Sheila sesaat setelah mengusak rambut Sheila dengan sayang.

Sheila mematung di posisinya. Ia hampir saja menangis. Rangga begitu perhatian dengannya. Ya, layaknya seorang kakak kepada adiknya. Namun, kenapa Sheila menerima perlakuannya masih sebagai lelaki ke perempuan?.

Walau tidak sampai tua, tapi mereka akan tinggal satu atap dalam waktu yang lama. Akankah perasaan pribadinya bisa hilang?. Rangga selalu membuatnya jatuh, dalam dan lebih dalam lagi.

Tbc.

Tbc

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Stepbrother!✔Where stories live. Discover now