[11] Jarak

278 44 4
                                    

Stepbrother!

•••

Seminggu setelah beberapa tragedi terjadi pada pasangan kakak – adik sekaligus kekasih itu, Sheila sengaja menghindari Rangga. Lelaki itu bodoh kalau tidak menyadarinya.

Dari mulai berangkat – pulang sekolah yang biasanya berboncengan, kini Sheila memilih berangkat lebih pagi dengan Shirli. Untung saja gadis itu mau direpoti.

Sheila tidak cerita pada siapapun, juga dengan Rangga. Teman-temannya yang melihat kecanggungan antara keduanya pun mulai curiga. Seperti saat ini di kantin. Biasanya ‘kan mereka umbar keuwuan, sekarang malah duduk saja saling berjauhan. Tidak, Sheila yang sengaja menghindar.

“Kalian lagi berantem 'ya?” tanya Selin yang terlanjur penasaran.

“Enggak,” jawab keduanya bersamaan.

“Enggak apanya? Kentara kali! Kenapa sih? Ada masalah apa? Ketahuan orangtua?” tebak Ryan.

“Enggak,” jawab keduanya bersamaan, lagi.

Semuanya menghela napas melihat sepasang kekasih itu. Mereka hendak bercanda saja rasanya tidak enak karena ada salah dua yang sepertinya disergap lingkup kecanggungan.

“Ya terus kenapa diem-dieman gitu?” tanya Shirli dengan sedikit emosi.

“Gapapa.” Lagi-lagi mereka menjawab bersamaan.

“Kalo gapapa, sekarang lo berdua ciuman coba!” timpal Nanda dengan entengnya, tidak sadar saja kalau ucapannya itu mengakibatkan wajah Sheila jadi merah padam.

Rangga berdeham, lalu meminum es jeruknya dengan terburu-buru. Sedangkan Sheila sudah berdiri kini.

“Aku—dipanggil Pak Winarto buat persiapan besok,” ucapnya dengan wajah yang merah padam—juga telinganya yang bergerak-gerak, tanda ia gugup.

Seperginya Sheila, kini semua mata teman-temannya menatap Rangga dengan senyuman jenaka. Yang ditatap menaikkan alisnya, seakan bertanya ‘apa?’.

“Hmm kayaknya emang berantem deh, guys!” ucap Sinta dengan senyuman penuh arti.

“Iya nih kayaknya!” timpal Shirli.

“Hayoloh kalian abis ngapain?” tanya Nanda dengan jahil.

“Kalo pergulatan ranjang kayaknya gak mungkin, guys. Tuh tangannya aja belom sembuh. Hnggg, sepertinya pergulatan yang ‘lain', aduhhh!” ujar Ryan dengan segala pikiran kotornya.

“Apaan sih kalian?!” Rangga berdiri, lalu melenggang pergi dengan semburat merah di pipi. Semua temannya tertawa melihat itu.

•••

“Sheila, soal yang saya kirim tadi malam sudah dikerjakan?” tanya Pak Winarto kala berpapasan dengan Sheila di koridor.

“Eh? Udah, Pak. Saya bawa bukunya, bapak mau coba koreksi?” tanya Sheila balik. Iya, tadi dia bohong pada temannya kalau dipanggil Pak Winarto—eh malah bertemu sungguhan.

“Iya, nanti ke meja saya 'ya? Oh iya, besok hari H, jaga kesehatan, jangan maksain diri kamu. Saya dapet laporan dari bunda katanya kamu jarang makan karena belajar terus. Jangan gitu 'ya?” ucap Pak Winarto sambil mengusap pelan rambut Sheila.

Gadis itu tersenyum lalu mengangguk. Pak Winarto pergi, sedangkan Sheila masih berdiri di situ. Ia belajar terus bukan karena olimpiade, tapi untuk menghindari seseorang.

Ya, tahu sendiri lah.

Berbeda dengan Sheila, kini Rangga sedang men-dribble bolanya di tengah lapangan basket yang panas. Emperan sedang sepi, mungkin murid lainnya sedang ada di kantin.

Rangga hendak men-shoot bolanya, tapi gagal. Padahal jaraknya dengan ring dekat. Ia mengambil bolanya, mencobanya lagi. Hingga percobaan kelima tetap saja gagal. Ia memantulkan bolanya cukup keras, lalu meninggalkannya dan duduk di bangku pinggiran lapangan.

Lelaki itu menghela napas, mungkin saat ini ia belum bisa bermain dulu. Rangga benar-benar sedih dan merasa tak berguna. Ia mencoba menggerakkan tangan kirinya yang masih digips, tapi sialnya malah makin sakit.

“Kata orang, pemain basket itu mati dua kali. Yang pertama pas dia berhenti main basket, yang kedua pas nyawanya dicabut.” Rangga menoleh kearah sumber suara, ah itu Diana—teman sekelasnya.

"Itu ballerina, kali!" timpal Rangga, dan gadis itu terkekeh.

“Ngapain lo?” tanyanya dengan santai, lalu menerima air mineral yang diberi Diana.

“Nemenin orang yang lagi putus asa,” jawab Diana sambil menatap lurus ke lapangan.

“Kalo lo maksain diri kayak tadi, gue yakin lo gak sembuh-sembuh!” ucap gadis itu dengan ketus—sambil menatap Rangga.

“Udaahh, ini waktunya lo istirahat. Tuhan ngasih takdir kayak gini tuh biar lo istirahat, bukan malah maksain diri kayak gini! Kena azab repot hidup lo ntar!” ucap Diana lagi, kini kembali menatap lapangan.

Rangga menghela napas. Benar juga perkataan teman sekelasnya ini. Makin ia memaksakan diri, makin lama pula ia sembuh. Sebenarnya sih, bukan karena memaksakan diri, tapi galau karena Sheila menghindarinya. Bucin.

“Makasih ya, Di,” ucapnya lalu tersenyum manis.

Diana yang melihat itu juga ikut tersenyum. Siapa yang tahan melihat senyuman manis Rangga? Bahkan penulisnya sendiri saja tidak.

“Yaudah ayo ke kelas. Udah mau bel,” ajaknya pada si lelaki.

Rangga mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan Diana menuju kelasnya. Sedangkan Sheila yang baru saja menyerahkan buku keramatnya pada Pak Winarto—tak sengaja melihat adegan keduanya. Semua, dari mulai Diana yang menghampiri Rangga.

Tahu kok, kalau itu bentuk nyata dari sakit hati yang dibuat sendiri.

Dari tadi ia duduk di emperan ruang guru sambil menatap keduanya dengan sorot mata datar dan biasa saja. Walaupun tatanan hatinya sudah berantakan.

Menghela napas, gadis itu beranjak—lalu melangkah menuju kelasnya dan menelungkupkan wajahnya di meja. Lebih baik tidur di kelas daripada menangis bombai di kamar mandi.

Rangga, mungkin Sheila akan menghindarimu lebih lama lagi, selamat.

Tbc.

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Stepbrother!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang