[18] Ciuman Menyakitkan

305 42 15
                                    

Stepbrother!

•••

Hari ini, Rangga dan Sheila berangkat sekolah seperti biasa. Walaupun kaki Sheila sudah sembuh, tapi mereka tetap diantar ayah dan pulang naik taksi. Sebenarnya Sheila mau saja kalau naik bus, tapi Rangga cukup trauma dengan yang pernah dilakukan Felix waktu itu. Ah, lelaki itu hilang dari peradaban, dia memang beda sekolah dengan Rangga. Sekadar teman SMP tadinya.

Kini, mereka sedang di perpustakaan. Sheila sedang mencatat sesuatu di buku keramatnya, sedangkan Rangga membaca buku sejarah. Entah kenapa lelaki itu jadi makin rajin belajar sekarang. Dulu, memegang buku saja rasanya malas. Hadirnya Sheila mungkin membawa pengaruh baik baginya.

“Kak, ke lapangan yuk!” bisik Sheila, yang malah membuat bulu kuduk Rangga berdiri. Gadis itu berbisik tepat di telinganya, itu sedikit—yah, kalian tahu lah.

“Mau ngapain?” tanya Rangga, berbisik di depan telinga Sheila juga—lalu mencuri ciuman di pipi gembul gadis itu. Sialan.

“Hei! Kurang ajar!” desisnya, lalu menutup buku dan pergi begitu saja.

Tidak, Sheila tidak marah. Dia hanya—tersipu, oke? Wajahnya sudah merah padam, ia malu kalau Rangga melihatnya. Untung saja tadi di perpustakaan sepi dan penjaganya sedang asik tertidur. Kalau tidak? Bunuh saja Sheila.

Sedangkan Rangga di sana, hanya tersenyum dan terkekeh gemas. Ia mengaku kalau ia brengsek, tapi siapa yang tahan melihat pipi gembul yang di sebelah kirinya akan menampilkan lesung kala tersenyum? Rangga bersumpah kalau Sheila ini makhluk paling manis dari yang manis. Oke, itu hiperbola.

Lelaki itu beranjak, lalu menyusul Sheila yang sepertinya merajuk. Setelah menyusuri beberapa koridor, akhirnya ia temukan juga sosok manis yang memenuhi hatinya. Ternyata gadis itu sedang mendengarkan musik di depan lapangan basket.

Rangga mendudukkan dirinya di sebelah Sheila. Gadis itu menoleh, lalu memalingkan wajah kala dirasa kembali memerah padam. Rangga menyentuh dagu gadis itu, lalu memaksanya menatap dia.

“Aku malu, kak. Puas?” ucap Sheila.

Rangga tertawa, lalu menarik satu earphone dari telinga Sheila dan mengenakannya di telinga. Lagu kpop langsung menyapa gendang telinga, dan Rangga mencoba tidak peduli walau ia tidak menyukainya.

“Kamu jujur banget 'ya? Malu kenapa, hm?” Rangga balik bertanya.

“Cih, nyebeli. Pura-pura gak tahu!” jawab Sheila dengan ketus.

Rangga kembali terkekeh, lalu menatap lurus ke lapangan yang basah karena hujan tadi pagi. Ia sekarang bukan lagi penguasa lapangan itu. Ia bahkan bukan lagi orang yang dicari-cari guru olahraga. Huh, tak apa. Setidaknya, selama ia berjuang untuk nama sekolah, ia tidak pernah mengecewakan. Walaupun turnamen terakhirnya berakhir dengan patah tulang.

Lelaki itu meringis, merindukan masa-masa santainya. Merindukan membuat strategi bersama anggota maupun coach. Rindu juga kala mengevaluasi anggota-anggotanya yang kurang ajar. Menyenangkan sekali.

Sheila melirik kakak sekaligus kekasihnya itu, ia ikut menatap lapangan, lalu teringat saat dia latihan dulu. Iya, walaupun disediakan ruang bela diri, Sheila juga kadang berlatih di lapangan. Sendirian, sampai malam. Itu kalau pikirannya sedang kacau. Beda lagi kalau sedang patah hati. Sudah tahu lah, bagaimana atraksinya.

“Gak kerasa, sebentar lagi kita keluar dari sini. Pasti bakal kangen kenangan yang pernah diukir di sini,” ucap Rangga dan diangguki Sheila.

Bel masuk berbunyi, mereka kembali ke kelas masing-masing. Sebelumnya, berjanji dulu untuk pulang bersama. Katanya, Rangga minta ditunggu sebentar karena ada urusan dengan alumni basket angkatannya. Sheila sih iya-iya saja.

Stepbrother!✔Where stories live. Discover now