[04] Empat Rasa

461 73 3
                                    

Stepbrother!

•••

“Kamu beneran mau berangkat sekolah? Izin aja, ya?” tanya Rangga sambil memakai dasinya.

Sheila menggeleng, lalu melahap nasi goreng yang tadi dibeli Rangga untuk sarapan. Kondisi mental gadis 15 tahun itu masih belum baik. Pandangannya kadang kosong, sering melamun—lalu menangis, dan hanya merespon dengan gelengan dan anggukan.

Rangga khawatir, minggu depan orangtua mereka pulang. Ia hanya takut kalau Sheila masih ‘sakit’. Ayahnya pasti langsung menonjoknya karena tidak becus menjaga sang adik.

“Maaf ya, dek,” ucapnya pelan—sambil merengkuh pundak Sheila. Gadis itu hanya mengangguk.

“Ayo, berangkat!” ajaknya saat melihat Sheila sudah rampung dengan urusan sarapannya.

Rangga menyiapkan bekal untuk keduanya terlebih dahulu. Sedangkan Sheila mengambil tasnya di kamar, tadi lupa dibawa. Setelah semuanya selesai, keduanya langsung saja berangkat ke sekolah. Berboncengan membelah jalanan kota Neo City dengan Vario 150 milik Rangga.

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di sekolah. Rangga memberhentikan motornya di depan kelas Sheila yang memang terletak di sebelah lapangan basket. Gadis itu hanya mengernyit, tapi tidak protes atau mengekspresikan keheranannya dengan ucapan. Dia hanya diam.

Para penduduk sekolah yang kebetulan lewat atau memang sedang di situ—menatap heran kearah keduanya. Apalagi yang datang bersama itu adalah Rangga dan Sheila. Selaku kapten basket dan pemenang olimpiade fisika tingkat provinsi.

“Ayo, dek!” ajaknya, lalu merangkul Sheila ke kelasnya.

XI MIPA 1 memang menduduki kelas paling terpandang karena murid-muridnya pintar dalam segala bidang. Namun, mereka juga sama dengan kelas lain—berisik. Berisik berdiskusi dan mengumpulkan hipotesis tentang beberapa teori. Ya, another level.

Penghuni kelas yang tadinya sedang mendiskusikan tentang hukum archimedes, mengalihkan atensi kepada sepasang kakak beradik yang baru saja datang. Kelas tiba-tiba senyap, tapi tidak dengan penghuni bangku belakang yang langsung menghampiri keduanya.

“Sheila?!” Entah itu bisa disebut sapaan atau tidak, yang pasti gadis berambut ikal ini ngegas saat mengucapkannya.

Sheila mendudukkan dirinya di bangku, lalu Rangga di depannya. Tiga gadis yang Rangga yakini adalah teman Sheila itu mengerumuni keduanya.

“Ka—kaliaaan...pa—pacaran?” tanya salah satunya, Sinta.

“Kita sodara,” jawab Rangga dengan santai, membuat ketiganya terkejut.

“A—apa?!” pekik salah satunya, Shirli.

“Bunda Leana cuman punya anak Sheila!” protes yang lain, Selin

Rangga memutar bola matanya malas. Adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi teman seperkpopannya malah berisik. Dasar.

“Ayah gue nikah sama bunda Leana minggu kemaren,” ucapnya.

“KOK KITA GAK DIKASIH TEMPE, LA?!” teriak Sinta, yang langsung disentil bibirnya oleh Rangga.

“Jangan berisik, jangan lebay, malu!” sinis si lelaki, lalu menatap Sheila yang menunduk.

Rangga meraih tangan Sheila untuk digenggam, lalu mendongakkan kepala Sheila, dan tersenyum simpul sampai matanya menyipit.

“Udah mau bel, kakak pergi, ya?” ucapnya, masih tersenyum.

Rangga hanya tidak tahu kalau senyuman itu bisa menghangatkan hati hingga wajah Sheila. Gadis itu lalu mengangguk pelan dan menduduk lagi untuk menyembunyikan wajah merahnya. Shirli yang kodratnya jadi gadis penyuka keuwuan—langsung memekik tertahan.

Bisa-bisanya Rangga begitu manis padahal kalau bermain basket sudah seperti setan kober. Dan juga—Sheila ‘kan menyukai lelaki super tinggi itu.

“Jagain adek gue. Kalo lecet dikit aja—gue gantung lo bertiga!” peringatnya pada ketiga gadis itu, lalu melenggang pergi.

Sinta, Shirli, dan Selin beralih menatap Sheila yang masih menunduk dengan wajah merahnya. Ia kemudian mendongak saat Sinta memanggilnya. Gadis itu bertanya keadaan Sheila yang tampak tidak baik-baik saja, dan yang ditanya hanya menggeleng dan mengatakan kalau semuanya baik.

Sheila hanya tidak kuat untuk menceritakannya.

Bel pun berbunyi sepersekian detik berikutnya, tiga teman Sheila kembali ke bangkunya masing-masing. KBM dimulai dengan mata pelajaran matematika wajib. Sheila banyak melamun, materinya tidak masuk ke otaknya.

Biarlah, nanti saja ia pelajari sendiri.

Dan 3 jam pelajaran terlalui begitu saja. Bel tanda istirahat pertama berbunyi dengan nyaring. Para murid bergegas ke kantin, ada juga yang ke perpustakaan, tempat ibadah, atau malah bolos.

Sheila tidak melakukan kegitan di atas, dia hanya diam di bangkunya dan memakan bekal buatan Rangga. Lelaki itu datang setelah 5 menit dia menunggu. Oh iya, ketiga temannya sedang ke perpustakaan setelah Rangga datang. Katanya, hendak cari referensi untuk membuat novel.

Ya, referensi membuat novel ala 4S—sebutan untuk mereka—adalah buku-buku tebal tentang sains. Dari mulai astronomi, fisika, kimia, teknologi, dan segala perintilannya.

“Kak, aku pengen pulang.” Rangga mendongak, menatap Sheila yang hampir menangis.

“Oke. Kakak minta izin dulu ke BK, ya? Kamu di sini aja, jangan nunggu di parkiran,” ucap Rangga, lalu membereskan tepak makannya dan melenggang pergi.

Sheila sebenarnya tidak mau bolos, tapi ia tidak mau menangis di sekolah dan dilihat oleh teman-temannya. Gadis itu tiba-tiba teringat perbuatan Felix saat salah satu teman lelakinya tidak sengaja memegang tangannya saat meminjam gunting tadi.

Gadis itu sudah menahan diri dari tadi, hanya saja yang namanya air mata itu sulit sekali ditahan, sama seperti batuk.

Sepuluh menit kiranya, Rangga kembali membawa tas dan juga selembar kertas izin. Lelaki itu menggandeng tangan adik tirinya, dan menaiki motornya yang ternyata sudah terparkir apik di depan kelas Sheila. Ah, itu sukses mengundang atensi para murid dan juga guru.

Sesampainya di rumah, Sheila langsung masuk kamarnya dan menangis. Kenapa kejadian itu tidak bisa ia lupakan?!

Rangga masuk ke kamar Sheila sambil membawa segelas air putih. Ia meminta adik tirinya tenang dan meminum air itu. Tangis Sheila belum berhenti, tapi sedikit reda.

“Maaf ya, dek.” Rangga memeluk tubuh gadis itu.

“Nangis aja, jangan berhenti sampai kamu lega. Kalau perlu, pukul kakak. Bayangin aja kamu mukulin si brengsek itu. Gak apa-apa, dek. Asal kamu lega, gak gini terus,” ucapnya lagi.

Alih-alih menenangkan Sheila dengan kalimat manis dan memintanya berhenti menangis, Rangga justru melontarkan kata-kata yang belum pernah ia muntahkan sebelumnya. Bahkan saat ia menyakiti hati mantan pacarnya dulu.

Sheila, gadis itu menangis lagi. Namun, tidak sambil memukuli Rangga atau semacamnya, ia hanya mengeratkan pelukannya. Seakan mencari kekuatan yang hilang di sana.

“Maaf ya, dek. Maaf...” ucap Rangga sambil mengelus rambut Sheila dan menciumi kepala adik tirinya.

Sekarang Sheila merasa, hancur, lega, baper, sedih, atau entahlah. Empat rasa jadi satu, seperti beng-beng saja. Ah itumah empat kelezatan.

Tbc.

Tbc

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Stepbrother!✔Where stories live. Discover now