[14] Pikiran Rangga

230 43 3
                                    

Stepbrother!

•••

Dua hari sudah terlewati Rangga dan Sheila dengan istirahat di rumah. Hari ini mereka kembali ke sekolah, diantar ayah. Oh iya, ada momen memalukan di hari pertama Sheila berangkat setelah izin. Yaitu, digendong ayah sampai ke kelas.

Rangga di sampingnya hanya menahan tawa. Sheila makin malu kala atensi para murid tertuju padanya. Tadinya sih ia menolak untuk digendong, tapi ayahnya ini memaksa. Katanya takut anak gadisnya kenapa-kenapa.

Sesampainya di kelas, Sheila berterimakasih pada ayah. Dan hari berjalan seperti biasa. Guru matematika masuk, mengucapkan kata rindu pada Sheila—yang bahkan tidak genap satu minggu izin— lalu memberikan kisi-kisi PTS. Ah, minggu depan sudah PTS, lalu bulan depan kelas XII ujian, bulan depannya lagi kelas X dan XI PAS 2.

Eum, sepertinya Sheila harus mengingatkan Rangga untuk belajar. Setidaknya agar nilai lelaki itu baik dan pindah kelas ke unggulan. Sheila tidak mau pintar sendiri, saudara sekaligus kekasihnya juga harus pandai. Mereka harus berhasil bersama-sama.

Kata bunda, istri yang baik adalah yang mau menemani suaminya kala susah, dan suami yang baik tidak akan mengajak istrinya hidup susah.

Sepulang sekolah, Sheila benar-benar menggempur Rangga dengan beberapa latihan soal. Terutama matematika wajib, ekonomi, dan sosiologi—mata pelajaran yang tidak terlalu dipahami oleh Rangga.

Ayah dan bunda hanya menyemangati kedua anaknya itu. Ayah bahkan sesekali ikut mengajari Rangga. Beliau sarjana ekonomi omong-omong. Kalau bunda, dia pandai fisika dan sastra, tapi Sheila juga pandai dalam dua bidang itu. Jadilah beliau hanya dapat jatah untuk membuatkan minum dan camilan.

Dan begitulah, seminggu berlalu, PTS akhirnya di depan mata. Rangga dan Sheila tersenyum mengingat mereka sudah berusaha keras untuk ini. Lelaki itu bahkan tidak menyangka kalau PTS yang biasanya dibenci, sekarang malah dinanti.

“Siap tempur?” Sheila mengangguk.

Keduanya berjalan menuju ruang PTS masing-masing.  Ah, tentang cedera mereka berdua, kalau Rangga sudah mendingan. Sedangkan Sheila, masih sedikit parah. Ya, waktu itu sudah mendingan dan sudah tidak diperban. Tapi, saat hendak menuruni tangga setelah selesai menyapu lantai 2, tak sengaja pula kakinya terkilir karena tersandung kakinya sendiri. Sebab itu, ayah benar-benar mengabulkan ekspektasi Sheila tentang elevator di rumah mereka. Hebat.

Tapi, ada satu ketidak beruntungannya lagi, dia mendapat ruang PTS di lantai 3. Dengan harap-harap cemas, ia meminta pada guru untuk diganti karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Dan ya, guru mana yang tega? Akhirnya Sheila ditempatkan di lantai satu—tepatnya depan lapangan basket agar tidak terlalu jauh.

PTS hari pertama lancar untuk sepasang saudara tiri sekaligus kekasih itu. Malamnya mereka belajar bersama lagi, kadang sampai melupakan jam makan malam. Itu membuat bunda sedikit marah juga khawatir.

Lalu PTS kedua dan seterusnya juga sama. Untuk Rangga, yang terakhir lumayan berat karena ia harus bertempur dengan mata pelajaran ‘kesayangannya'—ekonomi. Tapi setelah berhasil menyelesaikannya, rasanya teramat lega. Apalagi dihadiahi ciuman di pipi oleh sang kekasih. Hm.

Malam ini, pasangan itu sedang menikmati secangkir coklat panas di balkon kamar si gadis. Ditemani gitar dan bintang juga. Besok mereka sudah mulai libur, dan sekarang sepertinya cocok untuk refresing.

“Nyanyi dong, Dek!” pinta Rangga.

Ah, kalau diingat-ingat, sudah jarang si Rangga ini memanggilnya dengan sebutan begitu. Sheila ‘kan jadi salting lagi. Gadis itu lalu berdeham dan mengangguk. Walaupun tidak yakin kalau suaranya bagus di malam hari.

Stepbrother!✔Where stories live. Discover now