[20] Terakhir

220 42 6
                                    

Stepbrother!

•••

Keesokan hari dan seterusnya, Sheila maupun Rangga membangun sekat tak kasat walau di sekolah mereka tetap dekat. Teman-temannya tidak tahu, hanya Ryan. Lelaki itu tentu saja terkejut dan tak habis pikir pada om dan tantenya.

Sekarang mereka bertiga sedang berada di perpustakaan. PAS 2 minggu depan, dan itu artinya waktu bertemu Sheila dan Rangga makin sedikit. Ryan meringis ngilu melihat keduanya. Sudah tahu hendak berpisah, sekarang malah sibuk pada bacaan maupun catatan masing-masing. Itu bagus, tapi Ryan tidak suka situasi ini. Mereka belajar hanya untuk mengalihkan pikirannya saja.

Ryan melirik jam tangannya, sudah pukul 04.30 p.m. dan mereka masih betah di sana. Penjaga perpus sampai hapal dan menyerahkan kunci pada Rangga. Ryan ikut ke sini karena dia hanya tidak mau kalau keduanya terlambat pulang dan dimarahi orangtua. Istilahnya, mengawasi tanpa disuruh lah.

“Sheila, kamu pulang sana sama Ryan. Kakak ada urusan abis ini,” ucap Rangga tanpa mengalihkan pandanganya dari buku.

“Oke.” Ryan tidak kaget, sudah biasa ia dijadikan pelampiasan dan sudah biasa pula menjadi saksi bisu kecuekan Rangga yang terkesan dipaksakan.

Ryan lalu beranjak, begitu pula Sheila. Rangga masih di sana, walau sudah mengemasi buku-bukunya. Lelaki itu menghela napas dan menunggu mereka berdua pergi dari sekolah. Setelah mendengar suara motor Ryan yang keluar dari pelataran sekolah, Rangga beranjak. Mengunci pintu dan berjalan menuju lapangan basket.

Lelaki itu mengambil bola yang sengaja ia letakkan di pinggiran saat istirahat kedua tadi. Rangga mulai mendribble bolanya, lalu melakukan shooting, lay up, three point, dan begitu seterusnya sampai hampir pingsan.

Lelaki itu ambruk tepat setelah 50 kali melakukan shooting dan masuk semua. Senja sudah menghiasi langit, matahari hampir ditelan bumi, dan Rangga meneteskan air matanya entah kenapa. Itu memalukan, tapi lelaki juga manusia ‘kan?

Cess!

Rangga tersentak kala merasakan dingin di pipi kanannya. Ia menoleh, dan mendapati Sheila dengan senyum manisnya. Ah, bahkan dengan wajah yang kusut pun dia tampak manis dimata Rangga.

“Minum dulu, nanti pingsan.” Gadis itu mendudukkan dirinya di sebelah Rangga.

Lelaki itu menerima sebotol air mineral dari Sheila, lalu meneguknya hingga habis setengah. Ia melirik gadis itu yang tengah menatap ring basket dengan senyum getir.

“Kenapa gak pulang?” tanya Rangga.

“Karena kakak belum pulang,” jawab Sheila dengan entengnya.

Rangga menghela napas panjang, lalu meneguk minumnya lagi hingga tandas seluruhnya. Ia meremas botolnya, lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Mau tanding?” ajak si gadis.

“Gak, kakak capek. Ayo pulang, tak anteri—“

“Kakak betah kayak gini? Kita putus bukan berarti kakak jadi cuek gini. Aku tahu, biar aku gak ngerasa kehilangan banget ‘kan? Tapi itu salah, kak. Aku tersiksa kalau kayak gini. Aku sayang kakak.” Sheila memotong ucapan Rangga dengan pernyataannya.

Stepbrother!✔Where stories live. Discover now