[16] Liburan

184 44 1
                                    

Stepbrother!

•••

Bunda khawatir ketika mereka pulang, tentu saja. Pukul 07.00 p.m., yang seharusnya jam pulang adalah pukul 01.00 p.m. karena PAS, ibu bodoh mana yang tidak khawatir.

Beliau langsung merawat kaki Sheila dan menyuruh kedua anaknya itu makan, mandi, lalu tidur. Wanita 40 tahun itu bahkan menyuruh mereka agar tidur bersama. Tepatnya Rangga yang diminta untuk menjaga Sheila. Ya, bunda tahu kalau anak gadisnya itu sering terbangun tengah malam.

Selepas itu, keadaan kembali normal. Ah ya, teman-temannya sempat berkunjung untuk memastikan keadaan Sheila. Bunda tidak tahu kalau anaknya ini ‘sengaja' hilang karena merindukan kekasihnya.

Dan kali ini, libur akhir semester—tepatnya dua minggu. Ayah mengambil cuti dua hari, karena mereka akan berlibur ke Dream Island. Tentang pekerjaan ayah, beliau seorang ketua divisi pemasaran di sebuah perusahaan otomotif. Kalau bunda, beliau seorang koki di sebuah toko kue. Maaf baru menginformasikannya sekarang.

“Akhirnya bisa ke sini sama pacar,” ucap Rangga sambil menatap lurus kearah pantai.

Hari sudah sore, tapi Rangga dan Sheila masih betah duduk santai di bibir pantai. Ayah dan bunda sudah masuk ke vila yang telah mereka sewa. Sudah pernah dibilang kalau pulau buatan ini bisa disewa perorangan—dan mereka menyewanya.

Kalian pasti menganggap kalau mereka adalah keluarga kaya. Di rumahnya saja diberi lift, lalu menyewa sebuah pulau dua kali. Tapi nyatanya tidak begitu. Bukan kaya, lebih tepatnya—berkecukupan.

“Waktu itu bunda sama ayah nyewa pulau ini. Tak tebak, pasti mereka kesepian karena cuma berdua di pulau segede gaban ini,” timpal Sheila sambil menyandarkan kepalanya di bahu Rangga.

Sebenarnya tidak sebesar itu. Pulau ini hanya berisi vila berlantai satu dengan dua kamar, kios makanan dan minuman, kios cendera mata, dan tempat penyewaan pelampung. Artinya mereka tidak benar-benar sendirian, tentu ada staff. Yang tidak ada itu, pengunjung lain.

“Dek, kalau kita kasih tahu hubungan kita ke ayah sama bunda, gimana?” tanya Rangga tiba-tiba.

Sheila menoleh, lalu mengangguk santai dan menjawab, “kalau kakak berani, aku sih bisa aja.”

Lelaki itu terdiam. Benar, dia berani tapi masih ragu. Dia tahu kalau hubungan mereka adalah kesalahan dan tidak sepatutnya ada. Ayah dan bunda menikah bukanlah untuk membuat kedua anaknya jatuh cinta. Namun, untuk melengkapi kembali kepingan kasih sayang yang sempat hilang.

“Lebih baik ayah sama bunda tau dari mulut kita, daripada mulut orang lain. Tapi rasanya, aku gak kuat denger respon mereka kalau tau ini,” ujar si gadis.

Sheila lalu beranjak, menarik tangan Rangga agar lelaki itu berdiri. Perbedaan signifikan antara tinggi badan mereka. Sheila yang hanya 152 cm dan Rangga yang bahkan sudah 180 cm—itupun masih bisa tumbuh lagi. Bisa dibayangkan sekecil apa Sheila di samping Rangga.

Mereka berjalan di pinggiran pantai sambil bergandengan tangan. Dua minggu lagi mereka sudah di tahun akhir masa SMA, mungkin momen seperti ini akan jarang mereka lakukan. Daripada bermesraan dengan pacarmu, lebih baik bercumbu dengan buku, benar?

Hari sudah larut, keduanya kembali ke vila. Ayah dan bunda sepertinya di dapur, dan benar saja, mereka sedang menunggu Sheila dan Rangga kembali. Lalu, makan malam pun terlaksana dengan sedikit canda dan tawa. Setelah itu, Sheila dan Rangga mencuci piring, lalu bermain gitar di depan. Ayah dan bunda menonton Rangga yang sedang menyanyi dan Sheila yang memetik gitarnya.

Terkadang mereka tertawa kala suara Rangga sedikit goyang, atau Sheila salah memetik gitarnya. Bunda dan ayah juga menyanyi, suara mereka tidak buruk. Terkesan sangat bagus malahan.

Stepbrother!✔Where stories live. Discover now