8. Sofie

201 58 14
                                    

"Permisi?"

      Beberapa murid 11 AP dan Pak Jun—guru PKWU—menoleh pada ambang pintu kelas yang terbuka. Menemukan sosok pemuda jangkung yang berdiri di sana sedang memandangi ke dalam kelas. Menunggu dipersilahkan masuk.

"Sini masuk, Nan!" perintah Pak Jun. Sunan jadi melangkah masuk ke dalam kelas AP dengan tenang, tanpa rasa canggung sama sekali.

      Kini murid-murid penghuni 11 AP sudah kembali melanjutkan aktivitas mereka yang sempat terhenti barusan. Tak memperdulikan ketua kelas dari kelas sebelah yang ada perlu dengan Pak Jun di depan.

"Ini, Pak. Soft copy laporan produk anak kelas," kata Sunan menyerahkan flashdisk putih.

"Tungguin bentar mau, ya Nan? Soalnya mumpung saya lagi buka laptop ini. Takut lupa," ujar Pak Jun sambil menerima flashdisk yang diberikan Sunan.

Pemuda itu menganggukkan kepala. "Iya, Pak enggak apa-apa. Kelas saya juga lagi enggak ada guru," sahutnya tenang.

"Pelajaran siapa?" tanya Pak Jun kini sudah sibuk dengan laptopnya.

"Miss Wendy. Lagi pelatihan, jadi kita nyatet materi doang, Pak."

Pak Jun bergumam panjang mengerti.

      Sunan yang berdiri di samping meja guru kini menyapu pandangan. Dari depan ia dapat melihat murid-murid AP sepertinya sedang diskusi kelompok. Dilihat dari mereka yang duduk berkelompok tiga orang-tiga orang di setiap dua meja yang digabungkan.

"Kita jual produk yang bisa tahan lama aja kayak camilan gitu. Jadi kalau enggak laku 'kan bisa buat besok sampe lusa. Pokoknya jangka waktunya panjang lah," ujar Wulan pada Sigit dan Dhio yang merupakan teman sekelompoknya.

"Mau awet mah gampang, Lan. Tinggal kasih pengawet—ADAW!"

Belum ada satu detik sahutan dari Dhio, Wulan sudah menabok keras lengan pemuda kecil itu dengan tempat pensil.

"Lo tuh pasti tipe-tipe abang bakso yang pake boraks kalau jualan. Enggak boleh, beon!" omel Wulan galak.

"Git, gue ditabok. Padahal 'kan gue cuma bercanda," kata Dhio mengadu pada Sigit yang duduk ditengah-tengah.

"Idih, ngadu. Sigit bapak lo emang?"

"Bapak apaan? Gua nikah sama Mamanya Dhio juga enggak," sahut Sigit yang sontak membuat Wulan tergelak.

"Enggak gitu konsepnya, goblo!" umpat Dhio sambil menepuk belakang kepala Sigit.

"EEEH BERANI YA LO NABOK-NABOK KEPALA PANGERAN GUE?" pekik Wulan tak terima. Keadaan kelas juga sedang ramai, jadi pekikkan Wulan tak sampai sebegitunya membuat berisik.

Walau tetap, perkataannya tadi sampai di telinga Sunan yang kini memandangi gadis itu.

"Pangeran lo apaan? Lo tuh merasa jadi princess, gitu? Heh Wulan, lo tuh cocoknya jadi nenek sihir jahat—WOY WOY SIGIT LINDUNGI AKU!!!"

Dhio sudah rusuh berlindung di balik tubuh Sigit agar terhindar dari amukan Wulan.

"Ada Pak Jun," tegur Sigit sambil tertawa kecil menahan kedua pundak gadis itu.

"Awas ya lo nanti," ancam Wulan melotot galak pada Dhio yang masih mengerut di belakang punggung lebar Sigit.

"Iwis yi li ninti," ledek Dhio pelan yang untungnya tak disadari Wulan.

Karena gadis itu sedang menatap depan dan bertukar pandang dengan Sunan.

      Sunan mengangkat alis saat merasa Wulan seperti buru-buru mengalihkan pandangan. Bahkan kini Wulan sudah menunduk, belagak menulis sesuatu dengan tenang. Padahal baru saja ia ribut dengan Dhio yang masih ingin iseng dan langsung diperingati Sigit agar jangan mulai lagi.

Tiga Pagi Where stories live. Discover now