10. Tiga Pagi Berikutnya

258 63 31
                                    

      Pemuda tinggi itu berjalan memasuki rumah setelah menutup pintu kembali. Ia langsung mendudukkan diri di atas sofa kemudian meletakkan plastik ke atas meja di dekat adiknya, membuat gadis bersurai pendek yang tengah menonton televisi itu jadi menoleh langsung.

"Mas Sigit ke Indomart apa ke Arab? Lama bener." komentar gadis itu sembari menarik plastik dari atas meja. Menatap ke dalam plastik, mengecek isinya.

"Tadi ketemu temen, terus ngobrol dulu," sahut Sigit sambil meraih handphone di saku celana training yang ia kenakan.

"Anya," panggil Sigit ke adik perempuannya itu.

"Hm?" sahut Anya tanpa menoleh. Masih sibuk dengan belanjaan titipannya.

Sigit masih menatap ponsel seperti sedang mengetik sesuatu, kemudian menunjukkan layar ponsel ke depan wajah Anya.

"Kelihatan kayak perhatian banget enggak?"

Anya menoleh. Mengambil ponsel sang kakak kemudian membaca kalimat yang sudah diketik di memo.

"Lo udah sampe? Kalo beneran enggak enak badan jangan lupa minum—ADAW!"

"ENGGAK USAH KERAS-KERAS BACANYA."

Anya mendelik setelah bantal sofa yang tadi dilempar ke wajah oleh Sigit jatuh di depannya.

"KASAR BANGET SAMA ADIK SENDIRI?" Anya balas melempar, tapi dengan gesit Sigit menghindar.

"Makanya baca biasa aja dalam hati gitu, enggak bisa?" tanya Sigit sebal. Kini pemuda itu turun dari sofa, ikut duduk di lantai mengambil tempat di sebelah Anya.

Gadis itu mencibir, kemudian kembali menatap ponsel Sigit. "Kelihatan, Mas ini mah. Perhatian banget," katanya kemudian mengembalikan ponsel.

"Mas Sigit udah punya cewek? Siapa? Yang mana anaknya? Ada instagram? Sini coba aku stalk!"

Sigit memijat keningnya, tiba-tiba merasa pening mendengar pertanyaan beruntun seperti itu.

"Bukan siapa-siapa, Nya astaga temen doang!"

"Halah, masa temen perhatian amat. Temen apa demen?"

Sigit mendelik.

"Lo masih kecil." Sigit mendorong pelan kening Anya menggunakan jari telunjuk, membuat gadis itu jadi mengerucutkan bibir.

"Kalo emang naksir mah, gas aja sih. Perhatian terang-terangan kayak gitu juga enggak apa-apa, biar dia langsung ngerti," ujar Anya jadi mengajari seolah sudah sangat mengerti.

"Gitu?" tanyanya memastikan. Padahal baru saja mengatai gadis itu anak kecil, tapi sekarang sudah percaya begitu saja.

"Hadeh, katanya anak pinter? Katanya tahun kemarin peringkat dua paralel? Katanya anak OSIS? Gini aja enggak ngerti," kata Anya mengejek sambil menggeleng prihatin. Kini sudah mengambil bungkus keripik kentang dari dalam plastik kemudian membukanya.

"Enggak ada kolerasinya kali."

"Udah gas aja buru. Masalah dia naksir balik atau enggak yang penting udah usaha, Mas. Daripada disalip orang, hayo?" kata gadis bergigi kelinci itu jadi melotot menakuti.

Sigit terdiam. Tiba-tiba mengingat perkataan Sunan di depan minimarket tadi.

"Cukup jadi temen sekelasnya aja. Lu enggak perlu melangkah lebih jauh buat Wulan."

Pemuda itu jadi menajamkan tatapan, kini bangkit dari duduk kemudian melangkah memasuki kamar yang hanya berjarak beberapa langkah.

Anya menatap aneh kakaknya itu.

Tiga Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang