2. Perpustakaan, AP, dan AK

328 80 36
                                    

      Vespa Primavera hitam itu berhenti tepat di depan pagar cat putih. Pengendaranya turun, membuka pagar kemudian menuntun motor masuk ke dalam. Kening Sunan mengernyit bingung saat melihat bundanya duduk di kursi teras sambil membaca sesuatu. Tumben.

"Bun!"

      Merasa dipanggil, wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik sebagai ibu tiga orang anak itu menoleh. Mendapati pemuda tinggi yang kini tengah memakirkan motor di halaman.

"Ngapain di teras siang gini?" tanya Sunan mendekat setelah melepas helm.

"Nungguin rujak lewat," jawab bunda sambil menatap si bungsu yang kini sudah mencium punggung tangannya.

"Si Hanan belom pulang, Bun?" tanya Sunan lagi. Sekarang pemuda itu mendudukkan diri di lantai teras, lalu melepas sepatu.

"Pake Aa, Unannn," tegur bunda. Menyebutkan nama panggilan kesayangan khusus, Sunan jadi Unan. Kata bunda biar lucu.

Ia jadi mengerucutkan bibir. "Beda setahun doang, Bunaaa."

"Beda setahun juga tetep tuaan si Aa."

"Yaudah iya. Si Aa belom pulang?"

"Belum. Emang enggak bareng?"

Sunan menggeleng pelan. "Enggak ngeliat juga malah."

      Detik berikutnya ada suara motor yang berhenti depan pagar. Tak lama, Satria F150 masuk ke dalam. Orang yang tengah menjadi topik pembicaraan datang, rupanya.

"Panjang umur si Aa," celetuk bunda.

"Assalamualaikum Ibu Negara!"

bunda tertawa pelan sebentar, "Waalaikumusalam."

"Assalamualaikum beban negara!" Mata Hanan mengerling jahil ke Sunan.

"Waalaikumusalam ya ahli kubur," sahutnya tanpa dosa.

"HUS!" tukas bunda sambil menatap Sunan galak.

"Emang nih Bun, Sunan nih omongannya!"

"Bun, si Aa duluan!"

      Bunda malah menggeleng pelan saja. Sudah cukup kebal kalau melihat dua An mulai cekcok begitu. Jarak usia Hanan dan Sunan hanya berbeda setahun, jadi daripada kakak adik, mereka lebih seperti anak kembar. Sekalinya akur bakalan nempel banget, tapi kalau sudah cekcok tidak ada yang mau mengalah.

"Tanteee!"

      Sunan, Hanan, dan Bunda menoleh. Mendapati seorang gadis tengah menyembulkan kepala dari pagar yang terbuka sedikit. Ia yang melihat sosok itu lagi jadi berdecak sebal. Di mana-mana ada, heran. Sesekali tuh Sunan mau merasakan hari tanpa Irisha Wulan, di mana ia tak perlu melihat atau bertemu gadis mungil itu.

"Eh, Wulan? Masuk sayang!"

      Tadinya Wulan mau putar balik saja, kembali ke rumah gara-gara lihat ada Sunan juga di sana. Tapi udah ketahuan, ya gimana? Gadis itu mau tak mau jadi melangkahkan kaki masuk ke dalam.

"Ini, Tan. Ibu bikin banyak katanya. Iseng," kata Wulan mengulurkan tangan, menyodorkan sebuah kotak makan.

"Wuihhh apa tuh, Lan?" tanya Hanan sambil ikut melirik tempat makan berwarna merah muda yang kini tutupnya dibuka bunda.

"Bolu kukus, Kak."

"Bilangin ibu kamu, makasih ya. Makasih juga Wulan udah anterin ke sini," kata bunda sambil tersenyum manis. Wulan mengangguk, membalas senyum tak kalah manis.

"Sama-sama, Tante."

"Eh, Wulan pulang sama siapa tadi sekolah?" tanya bunda.

"Sama temen, Tan. Itu, si Bening," jawab Wulan sambil menunjuk jauh rumah Bening yang sebenarnya ada di depan komplek, tapi memang arahnya ke depan. Jari Wulan jadi menunjuk kanan.

Tiga Pagi Where stories live. Discover now