Prolog

793 118 58
                                    


“SUNAN SAYANGGGGGG!”

      Empunya nama yang baru saja menurunkan standar motor jadi mengumpat pelan karena kaget. Ia menoleh, mendapati pemuda sipit yang berjalan ke arahnya bersama dengan pemuda kurus tinggi bersurai hitam yang disisir rapih.

“Le, berisik banget anjir masih pagi,” omel Sunan saat pemuda sipit yang tadi meneriaki sampai di depannya. “Ju, bilangin kek temen lu!” perintah Sunan pada yang lain, si tinggi tampan.

“Kagak kenal,” sahut Juan dengan suara berat khasnya.

Darel mendengus, tak peduli. “Ini tuh hari pertama kita sekolah. Harusnya kita semangat!” kata Darel dengan gaya menggebu sambil mengepalkan tangan ke atas.

“Apaan? Tadinya aja gua mau tidur lagi. Gua kira masih liburan,” sahut Sunan sambil meletakan helmnya di stang motor.

“Sama. Kalo enggak diingetin nyokap juga kayaknya gua belom pulang dari kampung,” kata Juan ikut menyahuti. Kini mereka bertiga berjalan beriringan keluar dari area parkir menuju lapangan depan.

“Kalo gue yang Kepsek, udah gue turunin kelas jadi kelas sepuluh lagi lo berdua,” kata Darel gondok dengan sifat cuek kedua sohibnya.

"Emang Kepsek bisa nurunin kelas murid?" tanya Sunan.

"Kenapa enggak langsung drop out aja? Kan lu yg punya sekolah?" Kali ini Juan yang bertanya.

"Diem atau gue sleding?"

"TAKUTTTT!" Sunan dan Juan sudah akting memasang ekspresi ketakutan yang dibuat-buat kemudian memeluk lengan sendiri. Darel mendengus sebal saja melihat sikap dua galah itu.

Dua galah soalnya kaki Juan dan Sunan sama-sama panjang kayak galah.

“Rame amat anjir ni sekolah,” celetuk Darel saat mereka sudah melewati area lapangan depan, kini memasuki lobi.

“Mau sepi mah kuburan,” sahut Juan enteng.

“Ju, mending lo diem aja dah. Gue yang darah rendah jadi darah tinggi gara-gara dengerin lo ngomong,” omel Darel.

“Nan, salah nggak sahutan gua? Ya bener lah ya mau sepi mah kuburan,” tanya Juan meminta pendapat pada Sunan yang daritadi diam, tak ikut berkomentar.

“Serah lu berdua,” sahut Sunan tak berminat ikutan. Darel yang mendengar itu jadi menertawai Juan, meledek.

“EXCUSE ME, EXCUSE ME!”

      Sunan, Darel, dan Juan yang tadinya jalan sejajar kini terpisah karena ada seseorang yang menyeruak di antara mereka. Sunan dan Darel jadi terdorong ke arah kiri sedangkan Juan sendiri ke kanan. Gadis mungil itu berjalan melewati mereka dengan gaya seolah tuan puteri dengan dagu yang dinaikan dan langkah penuh percaya diri.

“He Wulan! Harus banget apa lo nabrak gue?” tanya Darel karena tadi sempat tertubruk bahu Wulan, mengenai lengannya.

“Nggak sengaja. Lagian siapa suruh jalan di tengah-tengah, hayo?” tanya Wulan setelah berhenti melangkah, menoleh ke arah Darel.

“Dah lah Le, nggak usah ditegor. Jadi berhasil kan capernya,” celetuk Sunan pedas. Wulan yang mendengar itu jadi mendelik, kini benar-benar memutar tubuh ke belakang.

Sorry? Apa? Siapa caper ke siapa?” tanya Wulan dengan nada sesantai mungkin. Menahan diri supaya tidak kelepasan ngegas.

“Lu. Caper ke gua.”

      Wulan yang mendengar itu sontak tertawa keras penuh paksa. Sarkas. Beberapa siswa yang melewati lobi jadi menoleh, tapi kemudian melanjutkan berjalan. Tak ingin tahu.

Tiga Pagi Where stories live. Discover now