3. Pukul Tiga Pagi

307 73 43
                                    

Rekor.

      Kata Sadewa, apa yang terjadi tadi pagi di perpustakaan antara anak AP dan AK adalah rekor. Bagaimana bisa perselisihan antar dua kelas itu bisa selesai dan tidak berkepanjangan dalam waktu kurang dari sepuluh menit? Bahkan saling meminta maaf. Kagetnya lagi, yang menengahi dan turun tangan adalah Sunan dan Wulan sendiri.

Benar-benar rekor.

      Bahkan tahun lalu, saat Bisma dan Sigit yang sama-sama menangani pertengkaran antar dua kelas tetap tidak bisa selesai secepat tadi. Kalau Bisma dan Sigit sedang sibuk ada urusan lain, cekcok antara AP dan AK bisa keterusan sampai baku hantam.

      Sunan mendesah pelan saat mengingat perkataan Dewa. Segitunya? Berarti sejak dulu yang selalu menimbulkan keributan parah dua kelas adalah dirinya sendiri (benar-benar baru sadar, seperti yang dilakukan terdahulu itu karena mengigau) dan Wulan, tentu saja. Habis mau bagaimana lagi? Wulan tuh memang se-menyebalkan itu menurut Sunan. Ia jadi tak tahan kalau hanya berdiam diri dan membiarkan gadis itu menganggu.

Jujur, melihat Wulan turun tangan tadi membuat Sunan diam-diam merasa agak takjub.

Cewek itu bisa dewasa juga?

"Bang," panggil Sunan ke orang yang sedang duduk memakai sepatu futsal di sebelahnya.

      Pemuda manis yang sedang merunduk itu jadi mendelik. Terkejut karena tiba-tiba Sunan memanggil dengan embel-embel bang. Biasanya juga menyapa pakai nama biasa, lalu ditambah dengan umpatan di akhiran nama.

Benar-benar contoh adik kelas yang kurang ajar.

"Apa? Lu mau apa?" tanya Ryan curiga.

"Mau nanya."

Ryan mendengus pelan, sudah menduganya. Ia kemudian menyelesaikan ikatan sepatu sebelum menegakkan tubuh. "Nanya apaan?"

"Kelas lu sama kelas AP juga berantem mulu, kan?" tanya Sunan tak menatap Ryan.

Ryan menyenderkan tubuh pada besi gawang. "Iya, lah. Tapi kalo ribut agaknya enggak pernah kayak angkatan lu yang sampe adu jotos. Adu bacot mah sering," ujar pemuda itu menjawab.

"Lu sering ribut gara-gara apa?"

"Ya, masalah sepele. Apa aja diributin. Anak AP bilang, anak AK sok pinter lah, gara-gara ngitung mulu kerjaannya. Terus dibales, katanya anak AP modal tampang doang, kelakuan barbar. Terus rebutan peralatan kelas, sering dibandingin sama guru mapel umum. Gitu dah."

Sunan mengangguk paham. Itu juga yang sering terjadi di kelasnya dan kelas sebelah. Sama persis.

"Pernah akur, enggak?"

"Akur kalo ulangan matpel reguler doang, saling oper kunci jawaban. Oh, sama kalau lagi ngetawain orang. Baru dah kompak," jawab Ryan enteng tanpa beban.

Sama juga.

"Tapi sekarang mah udah kelas tiga udah sama-sama enggak peduli, Nan. Masing-masing aja. Terus juga 'kan udah banyak project satu angkatan karena udah kelas akhir, jadi harus akur. Lagian ye, anak kelas gue udah ada beberapa yang pacaran sama anak AP. Temenan akrab juga banyak."

Sunan tak menyahuti. Diam seribu bahasa seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Lu sekarang ketua kelas 'kan? Kurang-kurangin dah ribut, tahan anak-anak lu. Baik-baik aja di kelas sebelas sebelum PKL nanti di semester dua. Jangan bikin kasus kalo kelasan lu mau PKL dengan tenang tanpa harus dipersulit sekolah."

Lagi-lagi, Sunan tertegun. Seolah tersadar.

"HEY! AYO PEMANASAN!"

      Ryan dan Sunan menoleh. Melihat pelatih ekskul futsal mereka sudah berteriak dari pinggir lapangan. Menyuruh para siswa yang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing di lapangan utama untuk segera berkumpul.

Tiga Pagi Où les histoires vivent. Découvrez maintenant