Awal Yang Baru

28K 1.5K 23
                                    

Ingatlah,

Tak ada yang abadi, termasuk keterpurukan.

Semua bisa berubah atas ijinNya.

Mungkin butuh waktu yang tak sebentar, tidak apa apa.

Jalani saja, Lillahita'ala...


Ishana POV

Terdengar lantunan merdu santriawati dari mesjid pesantren membacakan ayat suci. Kemudian terhenti sejenak dan digantikan oleh suara adzan subuh. Menandakan shalat subuh tiba untuk dilaksanakan.

Aku segera menuju kamar Ziva untuk membangunkannya.

"Ziva, ayo bangun sayang.Sudah subuh lho," aku menarik selimut yang menutupi tubuh mungilnya. Ziva menggeliat malas.

"Sudah subuh, Bunda?" gadis kecil itu bertanya setengah bergumam. Aku mengangguk.

"Kita shalat subuh berjama'ah, Nenek sudah menunggu,"ajakku

"Baiklaah Bunda, kalau begitu Ziva wudhu dulu ya." katanya sembari menghela selimut dan berjalan keluar menuju kamar mandi. Kurapikan tempat tidurnya sebelum beranjak menuju musholla kecil di rumah kami.

Usai menunaikan shalat subuh berjama'ah bersama Ibu dan Ziva, aku segera mandi dan beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sementara ibu melanjutkan membaca Al Qur'an.

Sudah hampir empat tahun aku pindah ke kota kecil ini. Tepatnya sejak perceraianku dengan Mas Juna. Raka, putra sulungku aku tinggalkan bersama Mas Juna di Jakarta. 

Tujuan awalku pindah ke kota kecil ini adalah untuk menenangkan diri pasca perceraian. Meskipun aku harus mengundurkan diri dari kantor dan menerima tawaran untuk mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Atas yang masih satu yayasan dengan Pondok Pesantren Modern Al Munawar ini.

Dengan uang tabungan, aku membeli rumah mungil di dekat lingkungan Pesantren. Hanya lima belas menit perjalanan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ziva pun aku sekolahkan di Sekolah Dasar Al Munawar..

Adalah Ustadzah Halimah, sahabat karib Ibu yang menawarkan aku untuk mengajar Bahasa Inggris di Pesantren ini. Beliau juga yang menemaniku mencari rumah agar dekat dengan tempatku mengajar. Aku tidak memberitahukan Mas Juna mengenai kepindahanku ke kota ini. Aku pun menutup komunikasi dengan Juna dan Raka. Kadang terselip rasa bersalah terhadap Raka. Namun, aku percaya Raka akan baik baik saja bersama Ayahnya juga Ibu tirinya.

"Bunda,"sebuah tangan mungil menyentuh pundakku.

"Ayo antar aku ke sekolah, nanti terlambat,"ajak Ziva. Ia sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

"Sarapannya sudah selesai sayang?"tanyaku sambil membetulkan letak jilbabnya. Ziva mengangguk.

"Tunggu sebentar ya, Bunda pakai jilbab dulu,"ujarku sambil bergegas berjalan menuju kamar.

"Ziva pamit Nenek dulu ya, Bun!"teriak putriku sambil berlari menuju kamar Neneknya.

Selesai memakai jilbab, aku bergegas keluar kamar. Di ruang tamu ibunya sudah terlihat rapi.

"Hana, biar Ibu yang antar Ziva ke sekolah sekalian mau ke pasar, "kata Ibu.

"Ibu ngak apa apa nanti ke pasar sendiri?"tanyaku. Ibu mengangguk.

"Hari ini kamu ngak ada jadwal mengajar kan?"tanya ibu.

Aku menggeleng. "Ngak ada Bu, Hana berencana mau ke toko As Salam nanti siang sebelum jemput Ziva. Ada buku yang mau Hana beli,"ucapku.

"Neneeeek, ayooo nanti Ziva terlambat!" teriak Ziva dari pintu pagar.

"Ya sudah, Ibu berangkat ya Han. Jangan lupa kunci pintu kalau nanti pergi,"pesan Ibu.

Aku mengangguk lalu mencium tangannya.

Setelah Ibu dan Ziva pergi, aku beranjak menuju kamarku. Duduk di depan meja rias dan memandang wajahku di cermin. Wajah yang kini dihiasi hijab.

Aku sering membaca tentang menutup aurat bagi seorang muslimah, tentang dosa bagi wanita yang memperlihatkan auratnya di depan bukan mahrom.

Dulu tak sedikit teman temannya yang menasehatiku untuk menutup aurat. Namun, banyak alasan yang ku lontarkan.

Belum siap...

Mas Juna belum ngizinin...

Takut kehilangan pekerjaan...

Nanti aja, nunggu usia sekian...

Hingga pertemuanku dengan Umi Halimah usai berpisah dengan Mas Juna.

Umi Halimah adalah sahabat karib Ibu ketika di Sekolah Menengah Atas. Ketika lulus, Umi Halimah melanjutkan kuliah ke Kairo, mengambil jurusan Dakwah di salah satu Universitas terbaik di sana. Ketika kembali dari Kairo, umi Halimah dikhitbah oleh KH Muhamad Yusuf, adiknya KH Muhammad Anwar Al Haqqi, pemilik pondok pesantren Al Munawar. Selain aktif berdakwah, beliau juga kepala Asrama Pondok Putri. Umi Halimah dan KH Muhammad Yusuf dikaruniai seorang putri yang saat ini tinggal di Kairo bersama suaminya.

Umi juga memiliki putri angkat seorang Designer Busana Muslim dan tinggal di Jakarta.

"Menutup aurat itu kewajiban Hana, sebagai seorang muslimah,"kata beliau suatu ketika.

"Berjilbab atau berhijab adalah symbol kehormatan seorang muslimah karena ia mampu menjaga sesuatu yang menjadi kehormatannya, dimana tidak sembarangan orang bisa melihatnya.Berjilbab juga melindungi dari siksa api neraka karena tidak menutup aurat."lanjut Umi Halimah panjang lebar.

Hingga akhirnya ku mantapkan niatku untuk menutup aurat. Aku benar benar ingin memulai kehidupan baru sebagai muslimah yang jauh dari dosa karena mengumbar aurat

Semenjak mengajar di pondok pesantren Al Munawar ini, aku sering mengikuti Kajian Khusus Muslimah. Umi Halimah yang menjadi pemateri, bergantian dengan Umi Marwah, istri KH Muhammad Anwar. Kajian muslimah setiap ahad ini banyak dihadiri oleh orangtua murid dan penduduk yang tinggal di sekitar pondok pesantren.

Aku mendapatkan kehidupan yang baru disini. Kehidupan yang lebih religi. Membuatku lebih mendekatkan diri kepadaNya.

Kulirik jam dinding di kamar. Sudah hampir pukul sepuluh. Tak terasa sudah hampir dua jam aku termenung di depan cermin. Kuraih kunci mobil di atas nakas, meraih tote bag dan bergegas menuju garasi mobil. Aku harus segera pergi ke toko buku As Salam, sebelum menjemput Ziva ba'da Dzuhur.


Dear Readers,

Cuma mau ngucapin banyak terima kasih buat yang udah ngikutin cerita ini dan peluk sayang buat yang udah vote....

Adakah seseorang yang akan menggantikan posisi Mas Juna di hati Ishana?Hehehehehe

Tungguin next part yaaa...

RINDU UNTUK ISHANA  (Terbit)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें