Kamu, Yang Sudah Di Hati

24.7K 1.4K 7
                                    

Ustadz Ardi meninggalkan rumah mungil itu dengan motor maticnya. Jarak pesantren dengan rumah Ishana hanya membutuhkan waktu lima belas menit perjalanan. Rumah Umi Halimah berada di kompleks pesantren, bersebelahan dengan rumah Kyai Anwar, ayahnya. Ustadz Ardi memarkirkan motornya di halaman rumah ayahnya, lalu bergegas menuju rumah bibinya. Suasana rumah Umi Halimah cukup ramai karena besok, Alya, adik angkatnya akan dilamar. Kyai Anwar dan istrinya memiliki anak angkat perempuan yang mereka adopsi dari panti asuhan sejak usia tiga tahun. Alya Fatimah, adik angkat Ustadz Ardi itu bekerja di Jakarta sebagai Designer Busana Muslim.

Umi Halimah menyambutnya di depan pintu.

"Lama amat ambil kuenya Ar," kata Umi Halimah.

"Ketemu Hana ya kamu, jadi lama," lanjut bibinya itu membuat wajah Ustadz Ardi bersemu merah.

"Siapa tuh Hana, Umi?"tiba tiba Alya sudah muncul di belakangnya.

"Hayoo, Ustadz kita nih sepertinya lagi jatuh cinta,"Alya menggoda kakaknya.

Ustadz Ardi tidak menjawab hanya menjawil gemas hidung adiknya itu. Sementara Umi Halimah tertawa sambil masuk kedalam rumah diikuti oleh kedua keponakannya.

Di dalam rumah sudah ada beberapa santriawati pondok yang membantu untuk persiapan lamarannya Alya.

"Abang mau aku bikinin teh atau kopi?"tanya Alya.

"Hmm, kopi aja. Bawa ke belakang ya," jawab Ustadz Ardi sambil menuju teras belakang.

Sambil memandangi bunga mawar putih milik bibinya, Ustadz Ardi mengingat kembali pertemuannya tadi dengan Ishana. Ia tidak mengira bahwa Ibu Khadijah adalah ibunya Ishana. Ia memang sudah lama mengetahui kalau bibinya itu bersahabat dengan ibunya Ishana.

"Saya minum ya tehnya,"ucapnya ketika tadi melihat Ishana berdiri kikuk di hadapannya sambil memegang baki.

"Eeh i-ya Ustadz, silahkan,"kata perempuan itu sedikit gugup.

Ustadz Ardi meraih cangkir di hadapannya. Sambil menyesap tehnya, ia melirik Ishana. Tidak bisa ia pungkiri, perempuan itu sudah menggetarkan hatinya semenjak pertemuan pertama mereka di toko buku beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya beberapa kali ia melihat Ishana di lingkungan pesantren. Ketika Ishana mengajar atau menjemput Ziva. Namun karena ruang guru akhwat dan ikhwan terpisah, jadi interaksi antara ia dengan Ishana pun terbatas. Beberapa kali juga mereka berpapasan di koridor sekolah. Namun, hanya menunduk sambil melanjutkan langkah masing masing.

"Ngelamunin apa Ar?"tanya Umi Halimah sambil mengelus pundaknya. Diserahkannya kopi yang dibuat Alya.

"Ngak ngelamun, Ardi lagi liat mawar putihnya Umi udah tumbuh banyak ya," ia berusaha berkelit.

Umi Halimah menarik napas panjang, lalu duduk di samping keponakannya itu.

"Umi tahu Ar, sejak di toko buku itu kamu sudah tertarik sama Hana,"ujarnya.

Ustadz Ardi tersenyum kecil. Memainkan gelas kopi di tangannya.

"Sudah hampir empat tahun Ar, sudah saatnya untuk kamu menikah lagi,"kata Umi Halimah seolah bisa membaca pikirannya.

"Ardi belum bisa melupakan Fatma,"ucap Ustadz Ardi lirih.

"Mau Umi ceritakan tentang Hana?"tanya Umi Halimah.

Ustadz Ardi mengangguk. Lalu, selama hampir dua puluh menit, umi Halimah menceritakan tentang Ishana.

RINDU UNTUK ISHANA  (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang