Chapter - O2

210 87 224
                                    

❝Pengecut mati berkali-kali sebelum kematian mereka; tetapi mereka yang gagah berani, hanya sekali merasakan kematian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengecut mati berkali-kali sebelum kematian mereka; tetapi mereka yang gagah berani, hanya sekali merasakan kematian.
- pujangga dari Avon
✧'.───────────────

Tarazayn Airlangga Husein
────────────
Rentang waktu yang panjang. Setelah 10 tahun, kami tak pernah bertukar kabar. Kepergian wanita itu merenggut segalanya dariku. Tawa, peran, kehangatan, semuanya sirna diterpa realita. Hanya menyisakan kedinginan, kesenduan, juga kesepian.

Dia tak sepenuhnya berubah. Persentase jiwa sosial yang hilang memang terhitung tinggi. Tapi tak kusangka, kini aku melihat dia yang seperti dahulu.

Satu lembar uang berwarna merah, ia sodorkan pada pengemis tua di pinggir jalan. Berharap pada asa jikalau ada manusia yang tergerak untuk membantunya. Sesuap nasi sudah seharusnya wanita itu syukuri.

Senyuman yang jika terukir tulus akan selalu terlihat sama. Sedari dulu, dia memang manis. Sangat mirip dengan malaikat yang telah melahirkannya ke dunia yang fana ini.

"Fey!" seruku. Kuda besi ini mengikuti temponya berjalan.

"Kuperintahkan padamu untuk tidak menggunakan nama itu! Sesulit apa untuk kau laksanakan?!!"

Lihatlah, bukankah dia menggemaskan? Aku selalu ingin kembali mencubit pipinya disaat seperti ini. Tapi tidak, atau dia akan semakin membenciku.

"Lo juga. Sulit banget ngomong pakai bahasa lebih santai? Kita ini teman lho, Fey." dia mendengkus. Tatapannya tajam namun nanar. Sepertinya gadis ini hanya berpura-pura menjadi dingin.

"Teman? Kau bahkan lebih menyerupai benalu bagiku," sarkasnya. Astaga, ternyata aku salah. Dia benar-benar dingin, umm ... mungkin terlahir di Antartika?

Mobil Lamborghini itu kembali melaju tanpa meninggalkan sepatah katapun. Tatapan nanar terus mengikuti jejak keempat ban karet yang bergesekan dengan panasnya aspal jalanan.

Miris, aku benar-benar kehilangan Feyfa-ku. 

"Oi, Zayn!" aku menolehkan kepala dan mendapati sahabat-sahabatku sudah bersiap dengan kuda besinya masing-masing. Kami memang berencana kumpul bersama di kediaman Jay. Hanya untuk bermain-main sebelum ujian akhir tahun diselenggarakan. Tahun ketiga bangku SMU begitu melelahkan. Aku saja hampir kewalahan akibat tugas yang menumpuk.

"Gengs, anggap aja sekarang kita konvoi. Okeeee?" seru Jay dan kami hanya berdeham saja. Ah, benar. Jarsezasa sangat merindukan momen-momen konvoi bersama hingga menikmati dinginnya malam di dalam tenda. Rasa kekeluargaan dan solidaritas sangat terasa diantara kami semua. Tak jarang mereka menjadi tempatku berpulang. 

Sialnya, setiap kali melakukan aktivitas bersama, penyakitku kambuh tanpa aba-aba. Aku malu jika harus berbohong dengan mengatakan perutku keram. Aku jahat sekali, bukan? Memperdaya mereka yang bahkan tak lain saudaraku sendiri.

Best Part [ COMPLETED ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang